Berapa nilai kekayaan ideal yang seharusnya dimiliki anak muda usia 25 tahun? Di usia tersebut, seseorang mungkin baru lulus kuliah dan memulai karier di dunia kerja. Dapatkah mereka memiliki tabungan Rp 100 juta, gaji minimal Rp 8 juta per bulan, punya kendaraan pribadi, dan cicilan rumah tinggal 20%, seperti yang diunggah akun Twitter Ditjen Pajak?
Bhima Yudhistira, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menilai tak semua anak muda beruntung memiliki kekayaan setinggi itu di awal kariernya. Namun itu mungkin terjadi jika mereka berasal dari keluarga kaya, katakanlah berada dalam kelompok pengeluaran rumah tangga 20% teratas.
“Kalau ada anak muda umur 25 tahun punya (tabungan) Rp 100 juta ya dicek dulu. Apakah dia dari kelompok yang mendapat bantuan modal orang tua untuk usaha atau punya warisan dan pendidikan di atas rata-rata?” kata dia kepada Katadata.co.id, Senin, 17 Mei 2021.
Usia 25 tahun idealnya punya NPWP dan lapor SPT Tahunan. ???????? pic.twitter.com/8fVPfLqwyR— #PajakKitaUntukKita (@DitjenPajakRI) May 10, 2021
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mayoritas anak muda Indonesia berada dalam kelompok berpendapatan menengah dan bawah. Hanya 22,3% pemuda yang masuk kelompok pengeluaran rumah tangga 20% teratas.
Sementara di dunia kerja, dengan pengalaman yang masih minim sulit bagi mereka langsung menduduki posisi manajerial atau eksekutif. Rata-rata karier dibangun dari level terbawah dan tentunya dengan standar gaji di kisaran batas minimum.
Data BPS per Februari 2021 menunjukkan, rata-rata upah buruh berusia 15-19 tahun hanya sebesar Rp 1,60 juta per bulan. Di kelompok usia 20-24 tahun, rata-rata upah sebesar Rp 2,24 juta, dan Rp 2,6 juta untuk rentang usia 25-29 tahun.
Masalah lain yang juga dihadapi anak muda Indonesia adalah mereka termasuk generasi sandwich. Generasi roti lapis merupakan istilah yang dipopulerkan Dorothy A. Miller pada 1981 untuk menyebut mereka yang memiliki tanggung jawab memenuhi kebutuhan orang tua yang sudah berusia lanjut sekaligus keluarga barunya.
Beban ganda tersebut membuat mereka berada di posisi terjepit untuk bisa memiliki kemerdekaan finansial. Jika dianalogikan, posisinya seperti daging dan isi roti yang ditekan dari atas dan bawah.
Dalam survei Jakpat pada April 2021 lalu, tercatat 48% masyarakat di Indonesia merupakan generasi sandwich. Dari jumlah tersebut, 48% di antaranya berusia 20-29 tahun. (Baca: Kiprah Milenial di Pucuk Pemerintahan)
Sebanyak 47% responden mengaku harus membiayai kebutuhan keluarga utama mereka. Kemudian 72% responden harus membiayai kebutuhan orang tua. Sedangkan, 37% responden lainnya harus memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang lain.
Tak hanya itu, mereka juga harus membayar utang, baik yang berasal dari pribadi (45%), keluarga utama (20%), orang tua (25%), dan anggota keluarga lainnya (14%).
Generasi sandwich juga harus membayar biaya kesehatan orang tua (23%) dan anggota keluarga lainnya (14%). Kemudian, ada 23% yang harus membiayai pendidikan untuk anggota keluarga utama. Itu belum termasuk membayar berbagai iuran, seperti BPJS Kesehatan dan cicilan sepeda motor.
Hasil survei IDN Research Institute pada 2018 juga menunjukkan hal serupa. Para pemuda yang termasuk generasi milenial harus menghabiskan 51,1% pengeluarannya untuk kebutuhan keluarga mereka.
Besarnya kebutuhan tersebut membuat mereka kesusahan untuk menabung dan berinvestasi. Tercatat hanya 10,7% milenial yang menghabiskan pengeluarannya untuk menabung. Sedangkan, proporsi pengeluaran untuk investasi hanya sebesar 2%.
Dengan melihat kondisi tersebut, Bhima menilai, idealisasi kekayaan dan pendapatan bulanan di usia 25 tahun merupakan wacana eksklusif. Idealisasi tersebut tidak dapat diterapkan ke seluruh anak muda Indonesia.
Ketimbang memikirkan target tinggi itu, dia menyarankan agar anak-anak muda fokus pada pekerjaan yang mereka tekuni sekarang. Jika memungkinkan, sebagian penghasilan bulanannya dapat diinvestasikan.
“Jangan terpancing harus target sekian karena kondisi keuangan setiap orang berbeda-beda,” kata Bhima.
Perencana keuangan dari Mitra Rencana Edukasi (MRE) Mike Rini Sutikno juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, target untuk bisa memiliki tabungan Rp 100 juta, kendaraan pribadi, dan cicilan rumah yang tersisa 20% lagi itu sulit untuk tercapai di usia 25 tahun. Bahkan, ketika seseorang memiliki gaji Rp 8 juta per bulan.
“Sepertinya belum memungkinkan dengan asumsi seperti itu,” kata Mike. (Baca: Indonesia Didominasi Milenial dan Generasi Z)
Alih-alih mengejar target tersebut, Mike menilai anak muda di usia 25 tahun membuat rencana keuangan yang sesuai dengan kemampuan dan tanggungan mereka. Dia mengatakan, salah satu rencana yang perlu disiapkan anak muda di usia 25 tahun adalah dana darurat yang besarannya enam kali dari pengeluaran per bulan.
“Dana darurat juga mengacu kepada gaya hidupnya saat ini,” kata Mike.
Selain dana darurat, Mike menyarankan anak muda di usia 25 tahun mulai mempersiapkan dana hunian dan dana pensiun. Dengan demikian, mereka tak akan khawatir dengan keuangan di masa tua kelak.
“Kalau dia belum mempersiapkan (dana) pensiun sejak usia 25, itu kehidupannya belum ideal sebenarnya,” katanya.
Sebagai persiapan dana pensiun, Mike menyarankan anak muda mulai menabung dan berinvestasi. Alhasil, anak muda memiliki pendapatan pasif minimal sekitar setengah dari pendapatannya saat ini pada masa pensiun.
Perencana keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto juga menekankan pentingnya menabung dan berinvestasi, khususnya bagi anak muda yang menjadi generasi sandwich. “Memang sementara ini belum bisa berinvestasi banyak-banyak, tapi harus dimulai agar punya dana yang lebih secure” kata Eko..
Eko mengatakan, anak muda harus mampu memilih jenis investasi yang tepat. Dia menyarankan beberapa jenis investasi untuk diambil oleh anak muda, seperti seperti reksadana, saham, dan emas.
Ketiga jenis investasi tersebut memiliki imbal hasil yang cukup tinggi. “Harus pilih investasi yang tepat, sehingga bisa menyisihkan dana sedikit, tapi memberikan hasil optimal,” katanya.
Editor: Aria W. Yudhistira