Advertisement
Analisis | Misi Ekonomi di Balik Kebijakan Tiga Anak di Tiongkok - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Misi Ekonomi di Balik Kebijakan Tiga Anak di Tiongkok

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Tiongkok mengubah haluan demografinya dari dua menjadi tiga anak di keluarga. Ini upaya menjaga pertumbuhan ekonomi di masa depan karena saat ini populasi penduduk produktifnya menyusut. Tapi, ada sejumlah persoalan untuk meningkatkan angka kelahiran.
Andrea Lidwina
13 Juni 2021, 09.25
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Banyak anak banyak rezeki. Hal ini agaknya yang sedang dipertimbangkan pemerintah Tiongkok untuk menjaga perekonomiannya di masa depan. Mulai 31 Mei 2021, setiap keluarga di negeri Panda tersebut boleh memiliki tiga orang anak.

Aturan baru ini menggantikan kebijakan dua anak yang telah berlaku sejak lima tahun terakhir. Sebelumnya pada 1979, pemerintahan Beijing membuat aturan yang melarang keluarga memiliki anak lebih dari satu.

Kebijakan satu anak dilakukan untuk memperlambat pertumbuhan penduduk. Keluarga yang melanggar bisa dikenai denda, kehilangan pekerjaan, atau dipaksa melakukan aborsi. Alhasil, angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) turun drastis dari 4-5 kelahiran menjadi 2-3 kelahiran per perempuan.

Angkanya bahkan terus menurun hingga lebih rendah dari 2,1 kelahiran per perempuan. TFR 2,1 merupakan ambang batas yang dibutuhkan untuk mengganti satu generasi dengan generasi berikutnya.

Pemerintah Tiongkok pun mulai mengizinkan setiap keluarga memiliki dua anak pada 2016. Meskipun penerapannya belum berdampak signifikan terhadap pertumbuhan populasi. TFR masih 1,7 kelahiran per perempuan pada 2019.

Karena itu, kebijakan tiga anak diharapkan mampu mengimbangi populasi Tiongkok yang mulai menua dan menjaga keberlangsungan sumber daya manusia.

Berdasarkan hasil sensus Biro Statistik Nasional (NBS) Tiongkok pada tahun lalu, proporsi penduduk berusia 60 tahun ke atas naik 5,44% dibandingkan 2010, sementara angkanya untuk usia 0-14 tahun hanya meningkat 1,35%. Proporsi penduduk usia produktif pun turun menjadi 63,35%, dari sebelumnya 70,14%. 

Meski begitu, mendorong angka kelahiran bukan perkara mudah. Keluarga di Tiongkok cenderung untuk tidak ingin memiliki anak banyak. Hal ini tidak hanya akibat kebijakan satu anak di masa lalu, melainkan tingginya beban yang mesti ditanggung.

Sosiolog dari Akademi Ilmu Sosial Tiongkok Ma Chunhua mengatakan, biaya mengasuh anak yang terlalu tinggi menyebabkan banyak keluarga memutuskan untuk memiliki lebih sedikit anak. Bahkan tidak punya anak sama sekali, seperti dikutip dari Sixth Tone.

Berdasarkan estimasi Chunhua, tanpa menghitung inflasi, biaya untuk membesarkan anak dari lahir hingga usia 17 tahun di Tiongkok rata-rata sebesar 191 ribu yuan (Rp 426 juta), atau sekitar 11,2 ribu yuan (Rp 25 juta) per tahun.

Jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita yang sebesar 32,2 ribu yuan (Rp 72 juta) pada 2020, maka 35% dari pendapatan itu digunakan untuk keperluan anak. Jika dilihat berdasarkan lokasinya, rasio pengeluaran di perdesaan jauh lebih besar, yakni mencapai 50% dari pendapatan, sedangkan di perkotaan 36%.

Selain itu, kurangnya minat memiliki anak lantaran masih tingginya diskriminasi gender. Terutama di tempat kerja. Melansir CNN International, perusahaan umumnya mencari karyawan laki-laki, sedangkan perempuan hanya ditempatkan pada posisi sampingan dengan upah lebih rendah.

Hal ini disebabkan perusahaan enggan membayar cuti hamil (maternity leave), terlebih jika terjadi 2-3 kali. Tak jarang pula perusahaan yang memecat karyawan yang hamil atau menerapkan aturan yang menyulitkan mereka punya anak.

Laporan Global Gender Gap yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF) setiap tahun menunjukkan skor Tiongkok berada di kisaran 0,67-0,68 dalam 15 tahun terakhir. Adapun tercapainya kesetaraan gender ditandai dengan skor 1. Peringkatnya bahkan terus menurun, yakni dari 63 pada 2006 menjadi 107 pada 2021. Penyebabnya, partisipasi politik dan ekonomi di negara itu memiliki kesenjangan yang tinggi.

Perempuan di Tiongkok juga masih mengemban tugas utama untuk mengurus anak dan rumah tangga. Namun belum didukung dengan fasilitas yang memadai, seperti tempat pengasuhan anak di bawah tiga tahun, sehingga perempuan tetap bisa bekerja.

Pemerintah pun mulai melakukan propaganda yang mendorong perempuan untuk tinggal di rumah dan punya anak setelah kebijakan dua anak diterapkan pada 2016. Akibatnya, kesempatan perempuan di dunia kerja semakin sempit.

Karena itu, pemerintah Tiongkok perlu meningkatkan fasilitas dan jaminan pendidikan, kesehatan, dan pengasuhan anak serta melindungi para pekerja perempuan dari diskriminasi di tempat kerja sebelum menerapkan kebijakan baru terkait punya anak. Namun, menurut asisten profesor Universitas British Columbia Yue Qian, perubahan perspektif dalam memiliki anak juga diperlukan di masyarakat.

“Kita perlu mengubah persepsi publik tentang anak-anak. Dalam banyak diskursus, anak dianggap sebagai barang publik karena mereka akan menjadi tenaga kerja di kemudian hari,” kata Qian, seperti dikutip dari CNN International


Penurunan populasi bisa menjadi masalah baru bagi perekonomian Tiongkok. Jumlah penduduk usia produktif yang lebih sedikit berpotensi memperlambat laju konsumsi. Beban usia produktif akan menanggung lebih berat dari penduduk usia tidak produktif.

Kondisi ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi di masa depan. Tak hanya itu, produktivitas industri pun mungkin turut menurun sehingga mengganggu rantai pasok global, bahkan ekonomi negara-negara lain.

Pemerintah Tiongkok mengantisipasinya dengan kebijakan tiga anak. Namun, jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas perawatan anak dan jaminan bagi keluarga, akan sulit melihat Tiongkok membalikkan angka kelahiran saat ini dan menjaga kestabilan demografinya.

Editor: Aria W. Yudhistira