Sejumlah kalangan dari berbagai latar belakang beberapa hari lalu membuat petisi dan surat terbuka. Dalam petisi tersebut, mereka meminta pemerintah memberlakukan karantina wilayah atau lockdown karena jumlah kasus baru Covid-19 terus melonjak.
Bahkan pertambahan kasus mencapai 14.536 orang pada Senin, 21 Juni 2021. Angka tertinggi sejak Presiden mengumumkan dua kasus pertama pada 2 Maret tahun lalu.
“Jika situasi ini terus dibiarkan, kami khawatir tragedi kematian massal di India bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia,” kata perwakilan Lapor Covid-19 Ahmad Arif dalam konferensi virtual pada Minggu, 20 Juni 2021.
Namun apakah Presiden Joko Widodo mau menerapkan lockdown yang artinya mengangkat tuas rem darurat dalam menangani pandemi Covid-19?
Wacana lockdown bukan kali ini saja mengemuka. Ketika pandemi mulai menyeruak masuk ke tanah air pada tahun lalu, desakan agar Indonesia menerapkan karantina wilayah disampaikan banyak kalangan. Tetapi pemerintah menolak usulan tersebut karena dianggap mengorbankan perekonomian.
Bagi pemerintah, penanganan corona harus beriringan dengan menjaga pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi akibat krisis corona. Istilahnya, menurut Joko, “rem dan gas harus betul-betul seimbang” dalam penanganan masalah kesehatan dan ekonomi.
Pemerintah kemudian memilih penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Strategi itu pun diubah menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro yang ruang lingkupnya lebih kecil.
Lalu apakah benar jika strategi lockdown dalam penanganan corona mengenyampingkan ekonomi? Bila melihat data di Asia Tenggara, sekurangnya tiga negara yang menerapkan lockdown secara penuh, yakni Vietnam, Singapura, dan Malaysia.
Vietnam melakukan lockdown di seluruh wilayahnya pada 1-22 April 2020 saat kasus Covid-19 mulai masuk ke negara itu. Kebijakan tersebut dilakukan lagi selama 15 hari di Da Nang pada 28 Juli 2020 karena adanya satu kasus corona yang tak diketahui sumber penularannya.
Vietnam kembali melakukan lockdown di Provinsi Hai Duong sejak 15 Februari 2021. Kebijakan tersebut pun diperluas ke sejumlah wilayah hingga saat ini lantaran penularan virus corona yang mulai kembali meningkat.
Singapura melakukan lockdown ketat bernama Circuit Breaker pada 3 April hingga 1 Juni 2020. Kebijakan itu kembali diberlakukan secara parsial sejak 16 Mei 2021 dan telah dilonggarkan pada 14 Juni 2021.
Malaysia melakukan lockdown secara penuh sejak 18 Maret hingga 3 Mei 2020. Kebijakan itu kemudian dilonggarkan pada 4 Mei-9 Juni 2020. Negeri Jiran kemudian masuk ke fase pemulihan sejak 10 Juni 2020 sampai 31 Maret 2021.
Pada 1 Juni 2021, Malaysia menerapkan total lockdown di seluruh wilayahnya. Hal tersebut mengingat penularan corona yang masif karena masuknya corona varian Delta asal India.
Strategi lockdown di Vietnam dan Singapura berhasil menekan jumlah kasus baru dan kematian. Di kedua negara jumlah kasus masing-masing sebesar 62.414 orang dan 13.117 orang per 20 Juni 2021, sekaligus menjadi yang terendah di Asia Tenggara. Kedua negara tersebut juga mampu menekan angka kematian di bawah 100 orang.
Malaysia yang juga menerapkan strategi serupa masih mencatatkan 696.408 kasus dan kematian sebesar 3.308 orang. Jumlah tersebut menjadi yang terbesar ketiga di Asia Tenggara. Namun masih jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia dan Filipina yang jumlah kasusnya tertinggi di Asia Tenggara.
Dari sisi ekonomi, strategi lockdown tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Vietnam. Negara tersebut tetap mencatatkan pertumbuhan positif pada tahun lalu. Meski sempat merosot pada kuartal II-2020, tapi kemudian lajunya terus menanjak.
Sementara ekonomi Singapura dan Malaysia, sempat terkontraksi dalam pada kuartal II-2020 masing-masing sebesar 13,3% dan 17,2%. Meski begitu, keduanya mampu pulih. Bahkan Singapura berhasil tumbuh 1.3% pada kuartal I-2021.
Sementara, Filipina, Thailand, dan Indonesia yang hanya melaksanakan karantina terbatas tercatat mengalami kontraksi masing-masing sebesar 17%, 12,1%, dan 5,39% pada kuartal II-2020. Meski pertumbuhannya mulai membaik, tapi angkanya masih berada di bawah tiga negara yang melakukan lockdown.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa strategi lockdown tidak serta-merta mengenyampingkan persoalan ekonomi. “Lockdown sebentar akan lebih baik untuk bisa ekonomi pulih lebih cepat,” kata ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti kepada Katadata.co.id pada Senin, 21 Juni 2021.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal. Menurut dia, lockdown yang efektif hanya akan membuat kontraksi ekonomi dalam jangka pendek. Setelahnya, pemulihan ekonomi Indonesia justru bakal lebih cepat pulih.
Sebaliknya, Faisal menilai strategi penanganan pandemi yang buruk justru akan membuat kasus corona melonjak. Hal itu malah akan membuat ekonomi Indonesia menjadi negatif ke depannya.
“Jadi artinya jangan ditutup opsi (lockdown) itu, tapi dibuka kira-kira apa win-win solution-nya, Itu perlu didiskusikan,” kata Faisal.
Walau begitu, masih ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah jika mau menerapkan lockdown sebagaimana di Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Salah satunya adalah tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warga selama karantina berlangsung. Ini sebagaimana tercantum dalam pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam hal ini, Faisal meminta pemerintah untuk merealokasi anggaran agar lebih fokus kepada penanganan corona. “Itu yang harus diamankan dulu dari sisi bantuan sosial (bansos) maupun stimulus untuk menjaga daya beli mereka, karena mereka nggak akan bisa mendapatkan pendapatan kalau tidak ada mobilitas,” kata Faisal.
Lebih lanjut, Faisal menyarankan pemerintah untuk mendorong belanja pelayanan kesehatan, khususnya untuk pemeriksaan, pelacakan, dan vaksinasi corona. Jangan sampai serapan anggaran di bidang tersebut rendah sebagaimana terjadi pada tahun lalu.
“Harusnya kan sudah pengalaman. Jadi sudah tidak tergagap-gagap lagi seperti tahun lalu,” kata Faisal.
Editor: Aria W. Yudhistira