Advertisement
Advertisement
Analisis | Ekonomi Digital Indonesia Terganjal Pemerataan Adopsi Internet - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Ekonomi Digital Indonesia Terganjal Pemerataan Adopsi Internet

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Pandemi Covid-19 mempercepat adopsi internet dan digital di tanah air. Banyak kegiatan dilakukan secara daring, mulai dari bersekolah, belanja, hingga konsultasi dan layanan kesehatan. Namun, akselerasi ekonomi digital menghadapi masalah pemerataan adopsi digital.
Andrea Lidwina
5 Agustus 2021, 06.20
Button AI Summarize

Pembatasan aktivitas selama pandemi Covid-19 mempercepat adopsi internet dan teknologi digital di Indonesia. Masyarakat semakin terbiasa melakukan kegiatan secara daring, seperti sekolah atau rapat jarak jauh menggunakan aplikasi Zoom. Begitu pula berkonsultasi dengan dokter malalui layanan telemedisin atau berbelanja kebutuhan sehari-hari melalui aplikasi.

Berdasarkan laporan e-Conomy SEA 2020 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain, satu dari tiga orang pengguna internet di Indonesia merupakan pengguna baru yang mengakses layanan tersebut akibat pandemi. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pun menunjukkan penetrasi pengguna internet meningkat, yakni dari 64,8% pada 2018 menjadi 73,7% hingga kuartal II-2020.

Namun, menurut laporan Bank Dunia bertajuk Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia, perkembangan pesat adopsi internet dan teknologi digital di Indonesia masih belum merata. “Kesenjangan akses ke teknologi digital mencerminkan dimensi-dimensi kesenjangan yang ada—di seluruh kelompok, wilayah, dan kelas ekonomi,” tulis lembaga tersebut.

Misalnya, proporsi masyarakat pada kelompok 10% distribusi pendapatan tertinggi yang punya akses ke internet tercatat sebesar 71% pada 2019. Persentase itu pun lima kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok 10% distribusi pendapatan terendah, yang sebesar 14%. Kemudian, persebaran penetrasi pengguna internet juga masih terpusat di Pulau Jawa dengan 56,4%. Sedangkan, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua masih di bawah 10%.

Akibatnya, bukan hanya kelompok masyarakat tertentu tidak bisa mengakses internet dan teknologi digital, tetapi mereka juga belum bisa menikmati manfaat dari layanan itu, terlebih semasa pandemi Covid-19.

Secara infrastruktur, proyek Palapa Ring berhasil memperluas jaringan tulang punggung (backbone) domestik ke semua wilayah Indonesia. Dengan begitu, setiap kabupaten/kota bisa mengakses internet melalui pita lebar (broadband)—meski masih ada kesenjangan untuk menghubungkan akses tersebut ke seluruh kecamatan dan desa di dalam negeri.

Namun, ketersediaan infrastruktur untuk mengakses internet tidak serta-merta membuat masyarakat mengadopsi layanan tersebut. Menurut hasil survei Bank Dunia, harga perangkat dan biaya layanan yang tidak terjangkau menjadi salah satu penyebabnya.

Di ranah mobile broadband, sebanyak 55% responden tidak memiliki gawai berbasis internet karena harganya mahal. Sementara itu, sebanyak 24% lainnya lantaran hanya menggunakan gawai untuk telepon dan SMS serta 18% tidak nyaman dengan gawai berlayar sentuh.

Hal serupa dikatakan responden di ranah fixed broadband. Sebanyak 44% tidak menggunakan layanan itu karena ongkosnya mahal—dimulai dari sewa modem, biaya pemasangan, hingga biaya langganan bulanan. Sebanyak 24% lebih memilih mobile broadband, sedangkan sisanya mengatakan tidak ada provider yang tersedia (14%), tidak butuh layanan tersebut (8%), dan kecepatannya lambat (4%).

Selain harga, kualitas layanan turut memengaruhi keputusan masyarakat untuk mengadopsi internet. Namun, Indonesia pun masih lemah dalam menyediakan hal tersebut. Data We Are Social pada April 2021 menyebutkan kecepatan internet mobile dan fixed broadband di Indonesia sebesar 17,74 Mbps dan 24,98 Mbps. Angka itu kalah cepat ketimbang sejumlah negara di Asia Tenggara, bahkan jauh tertinggal dari Singapura yang sebesar 66,93 Mbps dan 234,4 Mbps.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira