Laju penularan Covid-19 mengalami pergeseran ke luar Jawa-Bali. Bahkan jumlah kasusnya mengalami kenaikan drastis mencapai 270,4% dalam sebulan, pada 9 Juli-8 Agustus 2021.
Kenaikan terjadi di semua wilayah. Kenaikan tertinggi terjadi di Sulawesi sebesar 516,2%, kemudian Nusa Tenggara 395,7%, Kalimantan 324,3%, Sumatera 209,5%, serta Maluku dan papua 159,1%.
Presiden Joko Widodo sempat menyoroti lonjakan kasus di wilayah-wilayah ini karena berkebalikan dengan yang terjadi di Jawa-Bali.
“Kelihatannya terjadi pergeseran lonjakan dari Jawa-Bali menuju ke luar Jawa-Bali,” kata Joko saat memimpin rapat terbatas evaluasi perkembangan dan tindak lanjut PPKM level 4 pada Sabtu, 7 Agustus 2021 malam.
Menurutnya, kenaikan kasus didorong oleh varian Delta (B.1.617.2) yang daya penulrannya dengan cepat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ada 1.368 varian Delta yang telah terdeteksi di dalam negeri hingga 7 Agustus 2021.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 389 sekuens ada di luar Jawa-Bali. Rinciannya, 52 sekuens varian Delta terdeteksi di Sumatera, 75 sekuens di Nusa Tenggara, 207 sekuens di Kalimantan, 22 sekuens di Sulawesi, serta 33 sekuens di Maluku dan Papua.
Peningkatan kasus corona di luar Jawa-Bali perlu diwaspadai mengingat dapat meningkatkan angka perawatan pasien di rumah sakit. Hingga 8 Agustus 2021, ada 13 provinsi di luar Jawa yang tingkat keterisian tempat tidur (bed occupation rate/BOR) rumah sakit untuk penanganan corona di atas 60%.
Kalimantan Selatan berada di posisi pertama lantaran memiliki BOR sebesar 78%. BOR di Kalimantan Timur dan Gorontalo sama-sama sebesar 74%. Riau memiliki BOR sebesar 71%.
Sulawesi Tengah dan Sumatera Barat punya BOR sebesar 70%. BOR di Bangka Belitung mencapai 67%. Kemudian, BOR di Sumatera Selatan sebesar 66%.
BOR RS di Sumatera Utara tercatat sebesar 65%. Angkanya mencapai 64% di Lampung dan Sulawesi Utara. Sementara, BOR RS di Nusa Tenggara Timur sebesar 61%.
Sebanyak empat provinsi di luar Jawa-Bali pun punya BOR ICU yang berada di atas 80%. Keempat provinsi tersebut adalah Gorontalo (91%), Sumatera Barat (84%), Sumatera Selatan (81%), dan Riau (80%).
Tingginya tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit dikhawatirkan, karena jumlah tempat tidurnya lebih sedikit dibandingkan di Jawa-Bali. Sebagai gambaran, jumlah tempat tidur RS di Jawa-Bali sebanyak 217.922 unit per 8 Agustus 2021.
Jumlah itu setara dengan 55,62% dari total tempat tidur RS di seluruh Indonesia yang sebanyak 391.819 unit. Sementara sisanya sebanyak 173.897 unit atau 44,38% tersebar di 27 provinsi lainnya.
Angkanya lebih rendah lagi untuk tempat tidur RS yang dikhususkan bagi pasien corona. Dari 130.792 tempat tidur yang tersedia, sebanyak 84.511 unit atau 64,61% berada di Jawa-Bali. Artinya, hanya 46.281 unit atau 35,39% tempat tidur RS untuk penanganan corona yang tersebar di 27 provinsi lainnya.
Selain itu, jumlah tenaga kesehatan pun terbatas. Kemenkes mencatat, terdapat 1,5 juta tenaga kesehatan di Indonesia pada 2020.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 771.409 atau 51,38% tenaga kesehatan berada di Jawa-Bali. Sisanya sebanyak 729.492 atau 48,62% tenaga kesehatan tersebar di 27 provinsi lainnya.
Masalah lainnya muncul karena mayoritas suplai oksigen masih terpusat di Jawa. Pada pertengahan bulan lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pasokan oksigen medis di Indonesia mencapai 1.759 ton per hari.
Sebanyak 1.488 ton atau 84,6% dari suplai oksigen harian tersebut didistribusikan ke Jawa. Hanya 271 ton atau 15,4% dari suplai oksigen harian tersebut yang dikirimkan ke luar Jawa.
“Kalau dilihat, (sebarannya) enggak sama,” kata Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa, 13 Juli 2021.
Distribusi konsentrator oksigen pada saat ini pun masih berfokus ke Jawa-Bali. Hingga 1 Agustus 2021, terdapat 5.581 konsentrator oksigen yang telah dan akan didistribusikan ke berbagai provinsi di Indonesia.
Sebanyak 4.149 atau 74,34% konsentrator oksigen tersebut telah dan akan didistribusikan ke Jawa-Bali. Hanya 1.432 atau 25,66% konsentrator oksigen yang telah dan akan dikirimkan ke wilayah lainnya.
Meningkatnya angka kesakitan corona di tengah ketimpangan rumah sakit, tenaga kesehatan, dan oksigen tersebut akan membuat perawatan menjadi tak optimal. Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman mengatakan, hal tersebut berpotensi membuat kasus kematian akibat corona di luar Jawa-Bali semakin meningkat.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, kasus kematian akibat corona di luar Jawa-Bali meningkat 320,42% selama periode 9 Juli-8 Agustus 2021. Tingkat kematian tertinggi ada di Sulawesi sebesar 746,9% dan Nusa Tenggara 568,9%.
“Potensi kesakitan dan kematian akibat corona di luar Jawa akibat penularan varian Delta jauh lebih besar. Ini karena kapasitas rumah sakit, sumber daya manusia, hingga sistem rujukannya lebih lemah dari Jawa. Ada juga faktor demografi dan literasi yang masih menjadi isu,” kata Dicky kepada Katadata.co.id pada Senin, 9 Agustus 2021.
Tak hanya itu, Dicky pun mengkhawatirkan lahirnya varian baru asal Indonesia jika kenaikan kasus corona di luar Jawa-Bali tak terkendali. Terlebih, banyak kasus yang saat ini tidak terdeteksi lantaran masih rendahnya upaya pemeriksaan dan pelacakan Covid-19.
Atas dasar itu, Dicky menilai salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah demi mengantisipasi dampak kenaikan corona di luar Jawa-Bali adalah menggencarkan pemeriksaan dan pelacakan kasus. Presiden Joko Widodo sebelumnya juga meminta agar dua hal tersebut bisa segera ditingkatkan.
“Kalau nggak, orang punya kasus positif sudah menyebar ke mana-mana. Segera ditemukan,” kata Presiden.
Joko pun meminta agar para pemerintah daerah, khususnya di luar Jawa-Bali bisa menekan mobilitas masyarakat. Hal tersebut setidaknya perlu dilakukan selama dua pekan.
Mantan walikota Solo itu pun berpesan agar pemerintah daerah di luar Jawa-Bali menyiapkan tempat isolasi terpusat. Menurutnya, tempat isolasi terpusat dapat menggunakan sekolah, balai, atau gedung-gedung olahraga.
“Saya minta Menteri PUPR (Basuki Hadimuljono) juga membantu daerah dalam rangka penyiapan isolasi terpusat ini,” kata dia.
Di samping itu, pemerintah pusat dan daerah perlu mendorong vaksinasi corona di seluruh daerah. Vaksinasi penting sebagai salah satu langkah mengurangi tingkat keparahan dan risiko kematian akibat corona.
Pada saat ini, kecepatan vaksinasi masih belum merata antardaerah. Di Jakarta, misalnya, cakupan vaksinasi untuk dosis pertamanya telah mencapai 80,65% dari total populasi. Sementara, vaksinasi untuk dosis kedua di Jakarta telah mencapai 33,51%.
Hal berbeda terlihat di Lampung yang baru menyuntikkan dosis pertama vaksin kepada 7,15% dari total populasinya. Warga Lampung yang telah mendapatkan dosis kedua vaksin pun baru mencapai 4,79%.
Editor: Aria W. Yudhistira