Advertisement
Advertisement
Analisis | Melongok Data Untung - Rugi Pelemahan Rupiah - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Melongok Data Untung - Rugi Pelemahan Rupiah

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Pelemahan rupiah dinilai bisa menguntungkan Indonesia dari sisi daya saing produk ekspor. Di sisi lain, bisa mengerek inflasi dari kenaikan harga produk impor. Apakah Bank Indonesia perlu menaikkan suku bunga karena rupiah yang terus melemah?
Aria W. Yudhistira
9 Agustus 2022, 15.44
Button AI Summarize

Kurs rupiah terus mengalami tren pelemahan jika dibandingkan dengan dolar Amerika Serikat (AS). Sejak awal tahun hingga 7 Agustus 2022, rupiah tercatat sudah turun sebesar 5%.

Sejumlah kalangan mengkhawatirkan pelemahan tersebut, karena berpotensi menambah tekanan terhadap perekonomian nasional. Hal ini lantaran pelemahan rupiah dapat membuat lonjakan inflasi akibat harga-harga mahal, terutama yang berasal dari barang impor.

Salah satu penyebab nilai mata uang rupiah turun berasal dari naiknya tingkat suku bunga AS. The Fed, bank sentral Paman Sam, memang telah beberapa kali menaikkan suku bunga ke rentang 2,25%-2,5%, level tertinggi sejak 2018.

Bank Indonesia (BI) pun diminta segera menaikkan suku bunga di dalam negeri. Penaikan suku bunga dinilai dapat mengantisipasi terjadinya arus modal keluar yang dapat menambah lemah rupiah.

Lantas seberapa mengkhawatirkan pelemahan rupiah saat ini, sehingga BI perlu segera menaikkan suku bunga? Kemudian apakah kondisi rupiah saat ini merugikan atau masih menguntungkan bagi perekonomian Indonesia? Katadata.co.id menganalisisnya berdasarkan sejumlah indikator makro ekonomi nasional.

Indeks Rupiah Cenderung Menguat

Kalau melihat kurs perdagangan harian, rupiah memang cenderung mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Namun jika kita ukur berdasarkan indeks nilai tukar efektif atau effective exchange rate indices, yang terjadi justru sebaliknya.

Indeks nilai tukar adalah rata-rata tertimbang kurs rupiah terhadap mata uang mitra dagang utama Indonesia. Dalam hal ini ada dua jenis, yakni indeks nominal dan indeks riil. Indeks riil atau real effective exchange rate (REER) merupakan pengukuran nominal setelah dikoreksi dengan tingkat inflasi dalam negeri dibandingkan inflasi mitra dagang.

Dari data indeks nilai tukar yang dikeluarkan Bank for International Settlements (BIS), indeks rupiah—baik riil maupun nominal—cenderung mengalami penguatan sejak 2018. Dalam artikel ini, kami menggunakan data REER karena dinilai lebih tepat sebagai pengukuran.

Semakin tinggi REER suatu negara, maka ekspor semakin tidak kompetitif dan impor semakin murah. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah REER ekspor lebih kompetitif sedangkan impor mahal.

Berdasarkan data, indeks riil rupiah berada di angka 92,72 poin per Juni 2022. Dalam perhitungan indeks riil, angka 100 merupakan basis pengukuran. Jadi indeks yang masih di bawah 100 menunjukkan rupiah saat ini masih memberikan potensi yang menguntungkan bagi ekspor.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menilai, dengan level indeks riil rupiah saat ini Bank Indonesia telah mampu menjaga volatilitas rupiah dan daya saing dari produk ekspor dalam negeri. “Sehingga neraca dagang relatif surplus,” ujar Andry kepada Katadata, Senin, 8 Agustus 2022.

Posisi neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2022 mengalami surplus sebesar US$ 5,09 miliar. Meskipun terjadi kenaikan impor yang disebabkan harganya yang lebih mahal, tetapi masih dapat terkompensasi oleh kenaikan penerimaan ekspor.

Kendati begitu, melihat tren indeks riil rupiah yang cenderung menguat, otoritas moneter tetap perlu mengantisipasinya. Penguatan indeks tersebut menunjukkan adanya tekanan, terutama yang berasal dari inflasi. Jika tekanan inflasi ini kuat, BI perlu mengambil langkah dengan menaikkan suku bunga acuan.   

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira