Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengapa Dampak Krisis Ekonomi Lebih Parah di Pulau Jawa? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Dampak Krisis Ekonomi Lebih Parah di Pulau Jawa?

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Data pertumbuhan ekonomi daerah terkini menunjukkan perekonomian di Pulau Jawa lebih rentan ketika terjadi krisis ekonomi global. Apa penyebabnya?
Reza Pahlevi
24 Oktober 2022, 07.25
Button AI Summarize

Krisis ekonomi ada di depan mata. World Economic Forum (WEF) dalam laporan terbarunya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global melambat menjadi 2,7% pada 2023. Lalu, sepertiga dari ekonomi negara-negara dunia diproyeksi tidak tumbuh tahun depan.

“Singkatnya, yang terburuk masih belum terjadi dan bagi banyak orang tahun 2023 akan terasa seperti resesi,” tulis laporan yang terbit pada Oktober 2022 tersebut.

WEF menyoroti tiga hal sebagai penyebab suram perekonomian ke depan, yaitu invasi Rusia terhadap Ukraina, krisis biaya hidup akibat tekanan inflasi, serta perlambatan ekonomi di Cina.

Bagaimana dengan Indonesia? WEF memprediksi ekonomi Indonesia akan melambat dari proyeksi 5,3% pada 2022 menjadi 5% pada 2023. Di antara negara-negara ASEAN-5, proyeksi pertumbuhan ini hanya kalah dari Vietnam.

Dalam 30 tahun terakhir, Indonesia sudah beberapa kali melewati krisis. Krisis terbesar terjadi pada 1998 yang menyebabkan pertumbuhan melorot ke minus 13%. Begitupula krisis akibat pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian turun ke minus 2,1%. Meski terjadi krisis di AS dan Eropa, Indonesia masih mencatat pertumbuhan positif pada 2009 dan 2015.

Berdasarkan data, daerah luar Jawa umumnya lebih tangguh ketika krisis terjadi. Hal ini terutama dapat terlihat pada krisis 1998 dan 2008-2009.

Daerah Luar Jawa Melewati Krisis Global

Jika melihat data produk domestik regional bruto (PDRB), provinsi-provinsi di luar Jawa cenderung dapat bertahan atau bahkan melebihi pertumbuhan ekonomi nasional ketika krisis terjadi.

Pada 1998, krisis ekonomi menghantam paling berat di provinsi-provinsi Pulau Jawa. Lima provinsi Jawa saat itu—Jawa Barat (termasuk wilayah Banten yang baru terbentuk pada 2000), DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta—kompak mengalami kontraksi dua digit.

Di luar Jawa, hanya Sumatera Utara yang mengalami kontraksi dua digit. Papua bahkan mencatatkan pertumbuhan sebesar 12,7% ketika krisis menghantam.

 

Pada 2009, perbedaan mencolok dapat terlihat antara Indonesia wilayah barat dengan Indonesia timur. Meski masih tumbuh, hanya ada dua provinsi Indonesia barat yang menunjukkan pertumbuhan di atas 6% yaitu Jambi dan Gorontalo.

Sementara, hanya ada tiga provinsi Indonesia timur yang pertumbuhannya di bawah 6% yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Papua menjadi provinsi yang pertumbuhannya tertinggi yaitu 22,2%.

 

Executive Director Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, fenomena ini adalah salah satu dampak dari lebih terkoneksinya ekonomi Indonesia daerah barat—terutama Jawa—dengan ekonomi dunia. 

“Ketika global ekonomi mengalami tekanan (provinsi luar Jawa) tidak berpengaruh. Begitu juga jika ekonomi booming, juga tidak terlalu berpengaruh,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu, 19 Oktober 2022.

Data kontribusi tiap lapangan usaha untuk PDRB provinsi menunjukkan karakteristik ekonomi Jawa yang berbeda dengan di luar Jawa.

Perekonomian provinsi di Jawa umumnya lebih bergantung pada industri pengolahan dan perdagangan. DKI Jakarta, kontributor PDB terbesar nasional, juga bergantung pada jasa keuangan yang menjadi biang kerok krisis 1998.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira