Persepsi publik terhadap korupsi di tanah air memburuk. Pada 2022, Transparency International (TI) mencatat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sebesar 34 poin, turun empat poin dari tahun sebelumnya.
Indeks ini sekaligus yang terendah sejak 2014, tahun pertama ketika Joko Widodo (Jokowi) mulai menjabat sebagai presiden. IPK Indonesia pernah mencapai level tertinggi sebesar 40 poin pada akhir masa jabatan Jokowi yang pertama pada 2019.
IPK didefinisikan sebagai indeks komposit yang digunakan untuk mengukur persepsi korupsi di sektor publik di berbagai negara. Skor IPK berada di rentang 0-100. Skor 0 artinya banyak praktik korupsi di negara tersebut, sebaliknya skor 100 menandakan negara tersebut bersih dari korupsi.
Penurunan indeks menyebabkan posisi Indonesia melorot ke peringkat 110 dari 180 negara pada 2022. Pada tahun sebelumnya, Indonesia berada di nomor 96.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai turunnya IPK Indonesia menunjukkan kegagalan pemerintahan Jokowi dalam memberantas korupsi. Menurut Kurnia Ramadhan, peneliti ICW, salah satu faktor penurunan adalah maraknya korupsi di lingkungan politik.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, pelaku korupsi paling banyak berasal dari swasta, diikuti pejabat eselon, dan politisi, baik anggota legislatif maupun kepala daerah.
Hal ini sejalan dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu persoalan mendesak yang perlu dibenahi. Dalam survei tersebut, responden juga mempersepsikan penanganan korupsi di Indonesia juga cenderung buruk.
Tiga Indikator Penyebab Turunnya IPK
Transparency International mencatat terdapat delapan indikator dalam menyusun IPK. Dari delapan indikator, ada tiga yang mengalami penurunan, yakni Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide, IMD World Competitiveness Yearbook yang turun 5 poin, dan PERC Asia Risk Guide.
“Ketiga aspek ini sangat berpengaruh pada sektor prioritas di Indonesia yaitu sektor dunia usaha, sektor politik, dan sektor layanan publik,” kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dalam keterangan kepada awak media, Kamis, 9 Februari 2023.
PRS adalah indikator yang menilai korupsi dalam sistem politik, korupsi keuangan dalam bentuk permintaan pembayaran khusus dan suap yang terkait izin impor dan ekspor, kontrol perdagangan, penghitungan pajak, hingga perlindungan polis atau pinjaman. Pada 2022, indikator ini mengalami penurunan sebesar 13 poin.
Tindakan tersebut juga berkaitan dengan korupsi nepotisme, reservasi pekerjaan, pertukaran bantuan, pendanaan partai secara rahasia dan hubungan yang mencurigakan antara politik dan bisnis.
Firli mengatakan, berdasarkan risk assessment ada konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha. Perilaku suap untuk mendapatkan perizinan ekspor, perizinan impor, proses pemeriksaan pajak, dan pinjaman yang masih terus terjadi.
“Hubungan ilegal politik dan bisnis, sistem kroni, nepotisme, reservasi jabatan, imbal bantuan, pendanaan rahasia juga masih masif,” katanya.
Indikator kedua, yakni IMD World Competitiveness Yearbook yang turun 5 poin. IMD mengukur daya saing perusahaan di suatu negara dan mengukur sejauh mana eksistensi suap dan korupsi antara sektor bisnis dengan pelayanan publik.
Penyebab menurunnya IMD World Competitiveness adalah tingkat suap dan korupsi di dalam dunia usaha, sehingga terjadi persaingan usaha yang tidak sehat dengan menggunakan cara-cara kotor.
Sementara indikator ketiga adalah PERC Asia Risk Guide yang turun 3 poin. PERC memberikan perhatian khusus pada variabel sosial-politik seperti korupsi, hak dan risiko kekayaan intelektual, kualitas tenaga kerja serta kekuatan dan kelemahan sistemik lainnya dari masing-masing negara.
PERC juga mengukur tentang bagaimana penilaian para pebisnis terhadap masalah korupsi di negara tempat mereka beroperasi. Penurunan pada indikator ini menunjukkan relasi antara keputusan politik dengan kemudahan berusaha dan penilaian para pelaku usaha terhadap masalah korupsi.
Sementara itu, tiga dari delapan indeks lainnya mengalami stagnasi yakni Bertelsmann Foundation Transformation Index (BFTI), Economist Intelligence Unit (EIU) Country Ratings, dan Global Insights Country Risk Ratings.
BFTI menilai efektivitas pemidanaan korupsi pejabat publik. Di samping juga tingkat keberhasilan dalam mengontrol korupsi dan efektivitas penerapan penegakan integritas pada lembaga publik.
EIU adalah indikator yang mengukur ketersediaan prosedur dan akuntabilitas yang jelas dan mengatur alokasi penggunaan dana publik. Sedangkan Global Insight Country Risk Rating menilai tentang risiko bahwa individu atau perusahaan akan menghadapi suap atau praktik korupsi lainnya. Hal ini mengancam kemampuan perusahaan untuk beroperasi di suatu negara, atau akan mendatangkan sanksi hukum dan yang paling merugikan adalah kerusakan reputasi bisnis.
Sedangkan dua indikator lainnya mengalami kenaikan poin yakni Varieties of Democracy Project (V-Dem) naik 2 poin dan World Justice Project Rule of Law Index naik 1 poin.
V-Dem mengukur tujuh prinsip demokrasi suatu negara, yakni elektoral, liberal, partisipatif, deliberatif, egalitarian, majoritarian, dan konsensual. Sementara World Justice Project Rule of Law Index (WJP-ROL) mengukur penyalahgunaan kewenangan publik pada eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun polisi atau militer.
Meski kedua indikator ini mengalami kenaikan namun secara agregat tidak mampu mempengaruhi kontribusi penurunan IPK, kata Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko.
Editor: Aria W. Yudhistira