Advertisement
Analisis | Waspada Wabah Berita Hoaks Menjelang Pemilu 2024! - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Waspada Wabah Berita Hoaks Menjelang Pemilu 2024!

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Informasi keliru atau hoaks marak bermunculan menjelang Pemilu 2024. Jika dua tahun terakhir konten hoaks terkait dengan isu kesehatan, kini yang marak adalah informasi terkait calon presiden. Menghapus konten bukan satu-satunya cara memerangi wabah hoaks. Perlu meningkatkan literasi digital kepada masyarakat agar tidak termakan isu yang menyesatkan tersebut.
Vika Azkiya Dihni
13 April 2023, 09.12
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Memasuki tahun politik, informasi keliru atau hoaks kembali mewabah. Sepanjang Januari 2023 saja, tim pemeriksa fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menemukan 257 konten hoaks. Temuan ini 82% lebih tinggi dibandingkan rata-rata temuan pada 2022.

Jika pada dua tahun terakhir informasi hoaks didominasi isu seputar kesehatan dan pandemi, pada awal tahun ini mayoritas merupakan isu politik. Ini menunjukkan hoaks politik mulai menjamur menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024. 

Banyak hoaks yang muncul terkait dukungan salah satu bakal calon presiden (capres) hingga menyerang kandidat lainnya. Kebanyakan merupakan konten yang menyesatkan dan dimanipulasi. Biasanya sengaja dibuat untuk menipu dan menyesatkan pembaca. 

Konten menyesatkan adalah konten yang berisi informasi yang tidak benar dari sebuah isu atau individu. Sedangkan konten yang dimanipulasi ketika informasi atau gambar yang asli dimanipulasi untuk menipu.

Beberapa nama yang cukup sering muncul dalam konten-konten hoaks tersebut antara lain, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Joko Widodo. Meski tidak sesering nama-nama di atas, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono, Sandiaga Uno, Megawati Soekarnoputri, Ahok, hingga Gibran dan Kaesang juga kerap muncul di berita hoaks.

 

Salah satu contoh hoaks adalah video yang beredar di Facebook yang berisi klaim narasi bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dana sebesar Rp300 triliun untuk biaya kampanye hitam Ganjar pada 2024. 

Padahal judul dan isi video tidak berkaitan. Dalam video sama sekali tidak ditemukan informasi tersebut. Hoaks ini termasuk ke dalam konten yang dimanipulasi.

Contoh lainnya adalah beredar video Facebook yang mengklaim Anies Baswedan mengakui semua utangnya, serta mempermalukan diri dan para pendukungnya. Pengunggah menampilkan video Anies yang tengah diwawancarai dan cuplikan-cuplikan video kegiatan politik Anies. 

Faktanya unggahan tersebut tidak benar dan termasuk konten yang menyesatkan.

Media Sosial Mendominasi Konten Hoaks

Informasi hoaks banyak beredar melalui media sosial. Facebook yang paling banyak mengedarkan informasi keliru, diikuti YouTube, Twitter, dan WhatsApp. 

Pemanfaatan media sosial di Indonesia memang telah berkembang sangat pesat. Laporan We Are Social menunjukkan, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang per Januari 2023 atau setara 60,4% dari jumlah penduduk di tanah air.

Banyaknya pengguna media sosial ini juga mempengaruhi kepercayaan publik dalam mendapatkan informasi. Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan, media sosial menjadi kanal teratas untuk memperoleh informasi ketimbang media televisi maupun media daring.

Di media sosial, informasi yang belum terverifikasi benar atau tidaknya dapat cepat tersebar. Hal ini memudahkan banyak pengguna media sosial menyebarkan berita hoaks yang dapat menimbulkan kebencian dan provokasi, terutama di tahun politik.

Bahkan, hoaks lebih cepat menyebar dibanding berita klarifikasi atau pembenarannya. Hal ini seperti disampaikan Program Manager Tular Nalar Mafindo, Santi Indra Astuti dalam webinar Lingkaran Setan Hoaks: Cerdiklah Memilah Informasi, Rabu 5 April 2023.

“Selama ini kita belum bisa mengalahkan kecepatan penyebaran hoaks dibandingkan kecepatan penyebaran klarifikasinya” kata Santi.

Dia menekankan penting bagi pembaca untuk berpikir kritis yang dimulai dari rasio atau akal bukan dari emosi. Dengan demikian tidak mudah termakan oleh informasi hoaks.

Hal senada dikatakan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito, bahwa hoaks yang menyebar dengan cepat menjadi tantangan menjelang Pemilu 2024. Bentuk hoaks juga semakin berkembang dan semakin sulit diverifikasi.

“Terutama seiring dengan perkembangan teknologi informasi, dengan adanya teknologi artificial intelligence,” kata Sasmito.

Belajar dari Pemilu 2019

Persaingan politik yang memanfaatkan penyebaran hoaks di ruang digital banyak terjadi pada Pemilu 2019. Kominfo menemukan ada 3.901 hoaks sejak Agustus 2018 hingga November 2019. Hoaks kategori politik mendominasi dengan temuan 973 hoaks.

Menteri Kominfo Johnny G Plate mengungkapkan, pihaknya telah memblokir 1.321 konten hoaks seputar politik menjelang Pemilu 2024 di media sosial. Seribuan lebih konten tersebut terdeteksi hingga 4 Januari 2023.

“Pemilu Serentak 2024 jangan sampai disibukkan dengan post truth. Jangan sampai ruang-ruang komunikasi diisi hoaks, propaganda, misinformasi, dan disinformasi,” kata Johnny dikutip dari situs kementerian Rabu, 5 April 2023.

Banyak dampak negatif yang ditimbulkan dengan maraknya informasi bohong tersebut. Pada Pemilu 2019 dampak yang ditimbulkan dari informasi hoaks salah satunya adalah menimbulkan konflik sosial akibat ujaran kebencian dan propaganda.

Selain itu menyebabkan kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilu menurun. Begitu pula dengan kualitas pemilihan, serta dapat merusak rasionalitas pemilih, dan berpotensi menyebabkan disintegrasi nasional.

Sasmito mengatakan, peningkatan literasi digital ke publik serta melakukan penanganan terhadap misinformasi dan disinformasi bukan satu-satunya cara mengatasi informasi hoaks. Di sisi lain perlu meningkatkan kredibilitas kementerian dan lembaga penyelenggara pemilu. 

“Perlu ada peran Kominfo supaya publik menjadi benar-benar teredukasi,” kata dia. 

Menurutnya, konten hoaks sangat sulit diberantas karena akan ada produsen baru setiap hari. “Tapi kalau publik memiliki literasi yang baik dan memiliki sikap skeptis, setidaknya bisa mengurangi dampak hoaks, sehingga yang terjadi di 2019 tidak terulang pada 2024,” kata Sasmito.

Editor: Aria W. Yudhistira