Isu toleransi masih menjadi persoalan yang mengganjal dalam hubungan kemasyarakatan di Indonesia. Belum lama ini, Setara Institute merilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2022. Hasilnya, secara rata-rata tingkat pengelolaan toleransi antarpenduduk di kota-kota di tanah air cenderung stagnan.
Indeks dalam laporan tersebut diukur pada skala 1-7. Dari 94 kota, rata-rata IKT 2022 sebesar 5,03 poin atau turun 0,21 poin dari 2021. Jika melihat rata-rata indeks sejak laporan ini pertama kali dirilis pada 2015, IKT nasional cenderung tidak mengalami perubahan, yakni di kisaran 4-5 poin.
Kondisi ini menunjukkan, ada sejumlah kota di tanah air yang masih terjebak dalam kondisi intoleran.
Setara Institute menemukan terdapat 175 peristiwa dan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan pada 2022. Jumlah ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 171 peristiwa dengan 318 tindakan.
Tak hanya Setara Institute, sejumlah riset juga menunjukkan tingkat toleransi di Indonesia seperti jalan di tempat. Legatum Prosperity Index 2023 yang dikeluarkan Legatum Institute, sebuah lembaga yang berbasis di London, Inggris, menempatkan Indonesia di posisi 95 dari 167 negara untuk kategori kebebasan pribadi (personal freedom) dengan skor 53,59 dari 100.
Dalam pilar kebebasan pribadi tersebut, Legatum memasukkan kategori kebebasan individu dan tolerasi sosial di masyarakat. Legatum memasukkan kategori ini sebagai salah satu variabel untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara.
Dalam Fragile State Index 2022 yang dirilis The Fund for Peace menempatkan Indonesia di peringkat 100 dari 179 negara. Indeks ini mengukur kerentanan suatu negara terhadap potensi konflik atau perpecahan.
Dalam indeks tersebut, hampir semua indikator menunjukkan stagnasi bahkan menurun. Termasuk indikator hak asasi manusia yang berkaitan dengan kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan toleransi.
Kondisi ini sekaligus memberikan gambaran bahwa, sebagai negara demokrasi yang mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah memperbaiki toleransi antarwarga.
Kota-kota Intoleran di Indonesia
Setara Institute melakukan pengukuran terhadap empat variabel dan delapan indikator untuk menghitung tingkat toleransi di kota-kota di Indonesia. Variabel dan indikator tersebut antara lain: Pertama, variabel regulasi pemerintah kota yang memuat rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya. Selain itu, melihat ada tidaknya kebijakan diskriminatif.
Kedua, regulasi sosial yang mencakup peristiwa intoleransi dan dinamika masyarakat sipil terkait isu toleransi. Ketiga, tindakan pemerintah yang mencakup pernyataan pejabat kunci tentang isu toleransi dan tindakan nyata terkait isu toleransi.
Keempat, demografi sosio-keagamaan yang mencakup heterogenitas keagamaan penduduk dan inklusi sosial keagamaan.
Riset Setara menunjukkan Cilegon menjadi kota dengan skor toleransi terendah atau berada di peringkat ke-94 pada 2022. Peringkat Cilegon turun dari tahun sebelumnya di posisi 92. Sedangkan kota Singkawang memiliki skor indeks toleransi tertinggi.
Cilegon memperoleh nilai rendah pada tindakan nyata pemerintah. Indikator ini menilai respons atau tindakan nyata pemerintah kota terkait peristiwa intoleransi. Selain itu, Kota Cilegon dianggap kurang mampu mengelola kemajemukan kota. Kemajemukan tersebut meliputi agama dan keyakinan, serta sikap dan ekspresi warga kota terhadap kelompok minoritas, baik terkait masalah keagamaan maupun non-keagamaan.
Belum lama ini, kota Cilegon sempat menjadi sorotan publik terkait isu penolakan pendirian rumah ibadah. Rencana pembangunan gereja di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha di lingkungan Cikuasa, Grogol, Kota Cilegon mendapatkan penolakan dari sejumlah masyarakat hingga perangkat daerah Kota Cilegon.
Bukan kali ini saja penolakan pendirian tempat ibadah agama selain Islam terjadi di Cilegon. Pada tahun-tahun sebelumnya pun telah pernah terjadi kasus penolakan seperti ini.
Data Badan Pusat Statistik Kota Cilegon menunjukkan ada 488 masjid dan 458 musala di Cilegon, tapi tidak ada satu pun gereja, pura, maupun vihara. Padahal jumlah warga non-muslim di Kota Cilegon tercatat 7.003 warga Kristen, 1.823 warga Katolik, 244 warga Hindu, 1.676 warga Buddha, dan 10 warga Konghucu pada 2022.
Kota yang juga menjadi sorotan adalah Depok yang peringkatnya di bawah Cilegon. Setara Institute menilai pemerintah Kota Depok tidak melakukan tindakan nyata untuk menjawab isu toleransi dan inklusi sosial keagamaan.
Namun pemerintah Depok mengkritik hasil riset Setara Institute tersebut. walikota Mohammad Idris mengatakan, tingkat toleransi di kota Depok sudah cukup bagus.
“Tidak ada konflik antarumat beragama. Justru yang unik, ada potensi kerentanan dalam suatu agama tertentu terkait ideologi dan kepercayaan, sehingga memicu konflik,” katanya dikutip dari Tribun Depok Kamis, 4 Mei 2023.
Salah satu pertimbangan menempatkan Depok sebagai kota intoleran adalah masih adanya produk hukum yang diskriminatif. Misalnya, penutupan Masjid Al-Hidayah yang dipakai oleh kelompok Ahmadiyah.
Kemudian kepemimpinan politik di Depok juga dinilai memicu segregasi ruang publik. Misalnya, makin banyak perumahan yang hanya ditujukan penganut Islam.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan, kota-kota yang berada di peringkat terendah dalam Indeks Kota Toleran 2022 salah satu faktornya terdapat kepemimpinan yang mengedepankan identitas agama tertentu.
“Cenderung menerbitkan kebijakan favoritisme identitas agama yang mewakili dirinya,” kata Halili dalam keterangannya dikutip Kamis, 4 Mei 2023.
Selain itu, kota dengan indeks toleran rendah juga karena faktor pemerintah kota yang tidak mengelola kehidupan kerukunan dan toleransi di tengah masyarakat. Pemerintah kota, dinilai kurang memfasilitasi kebebasan merayakan hari-hari besar agama.
Halili merekomendasikan penetapan skema kualifikasi kepemimpinan untuk pemimpin daerah. Pemimpin daerah harus memiliki kesadaran akan wawasan kebangsaan, kemajemukan, dan kebhinekaan.
Editor: Aria W. Yudhistira