Advertisement
Advertisement
Analisis | Aneka Masalah Sulitnya Sediakan Air Minum yang Aman Dikonsumsi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Aneka Masalah Sulitnya Sediakan Air Minum yang Aman Dikonsumsi

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Air minum berperan penting dalam kehidupan manusia. Namun belum semua penduduk dapat menikmatinya akibat keterbatasan akses. Di sisi lain, kualitas air minum yang tersedia cenderung rendah. Hal ini menyebabkan masyarakat masih harus memenuhinya dari beragam sumber. Salah satunya membeli air minum dalam kemasan.
Andrea Lidwina
15 Juni 2023, 07.38
Button AI Summarize

Tak ada manusia yang mampu bertahan hidup tanpa air minum. Saking pentingnya, air seringkali dijadikan analogi dalam peribahasa. Misalnya, “air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam” atau “jelatang di hulu air.” Ini tampaknya karena air mudah ditemukan di tanah Indonesia, sehingga gampang menjadi gambaran.

Meski perannya penting, air belum menjadi kemewahan bagi banyak penduduk, terutama di perdesaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sudah 95,51% rumah tangga urban yang mengakses air minum layak pada 2022. Sedangkan, di daerah rural persentasenya baru 84,93%.

Angka itu sebetulnya sudah meningkat dua kali lipat dibandingkan 13 tahun sebelumnya. Persentase rumah tangga yang dapat mengakses sumber air minum layak tercatat sebanyak 42,51% di perkotaan dan 45,85% di perdesaan pada 2010.

Adapun, sumber air minum layak meliputi air minum dalam kemasan (AMDK), leding atau perpipaan, sumur bor dan sumur gali terlindungi, mata air terlindungi, penampungan air hujan, dan hidran.

Namun, garis finis kerja pemerintah bukan terletak pada perluasan akses sumber air minum layak saja. Air juga harus aman diminum dan dikonsumsi masyarakat. Kementerian Kesehatan menyebutkan air minum aman dapat diakses melalui sumber air minum layak yang selalu ada di dalam rumah dan bebas dari kontaminasi.

Berdasarkan Environmental Performance Index (EPI), kualitas air minum Indonesia mendapat skor 24,9 pada 2022. Skor tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 132 dari total 180 negara yang dinilai. Di Asia Tenggara, Indonesia memperoleh skor terendah. 

Indeks yang dirilis Yale University ini mengukur kualitas air dari jumlah tahun hidup yang hilang karena terpapar air minum tidak aman. Skor 100 menunjukkan suatu negara punya air yang murni dan paling sedikit terkontaminasi. Sebaliknya, makin mendekati skor 0 berarti kualitas air di negara itu kian buruk.

Makanya, masyarakat Indonesia tidak dianjurkan minum air langsung dari keran. Air keran (tap water) harus disaring atau direbus lebih dulu, baru aman untuk diminum. Padahal, minum air keran merupakan hal lazim di Singapura, yang memiliki skor 88,9 dalam indeks itu.

Kementerian Kesehatan juga menemukan hal serupa. Laporan Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) menunjukkan sebanyak tujuh dari 10 rumah tangga di Indonesia mengonsumsi air minum yang mengandung bakteri Escherichia coli (E.coli) pada 2020.

“Kontaminasi tinja dalam air minum biasanya diidentifikasi dengan adanya bakteri E.coli dalam 100 ml sampel air,” tulis Kementerian Kesehatan.

Jika dilihat lebih rinci, berarti ada 31,6% rumah tangga urban yang mengakses air minum aman—bebas dari bakteri E.coli. Proporsinya pada rumah tangga perdesaan lebih rendah, yakni hanya 19,5%.

Sementara, jika parameter air minum aman ditambah sehingga meliputi kandungan E.coli, zat terlarut, pH, Nitrat, dan Nitrit, persentase rumah tangga yang mengakses air minum aman tercatat kian sedikit. Angkanya sebesar 22,1% di perkotaan dan 11,3% di perdesaan pada 2020.

AMDK, Solusi Air Minum Aman?

Lebih dari 50% rumah tangga urban menggunakan AMDK sebagai sumber air utama untuk minum pada 2022. Rinciannya, sebanyak 38,92% rumah tangga menggunakan AMDK dari depot isi ulang. Lalu, sebanyak 13,04% rumah tangga mengandalkan air kemasan bermerek.

AMDK juga menjadi salah satu sumber air utama untuk minum di perdesaan, tetapi persentasenya tak sebesar di wilayah urban. Sebanyak 20,69% rumah tangga memakai air isi ulang dan hanya 1,78% yang menggunakan air kemasan bermerek.

Riset Komarulzaman dkk. (2017) dalam “The switch to refillable bottled water in Indonesia: a serious health risk” di Journal of Water & Health mengungkapkan beberapa alasan masyarakat memilih AMDK sebagai sumber air minum. Misalnya, mudah didapat dan digunakan, serta harganya relatif terjangkau.

Tak hanya itu, AMDK dinilai lebih aman ketimbang sumber air minum lain. Asumsi ini tidak sepenuhnya salah, mengingat kualitas air minum di Indonesia memang masih buruk sehingga konsumen tentu ingin mencari opsi lain.

Namun, penilaian itu turut dipengaruhi maraknya iklan air kemasan yang mengarahkan persepsi publik bahwa mengonsumsi AMDK lebih baik. Misalnya, melalui penggunaan pemeran (artis), kalimat promosi, atau tampilan warna.

Kondisi lingkungan, seperti menipisnya ketersediaan air tanah, pun bisa mendorong konsumen beralih ke AMDK dengan alasan lebih bersih dan aman.

Nyatanya, AMDK tidak selalu lebih aman dibandingkan sumber air lain. Menurut hasil riset Ikhsan dkk. (2022) dalam “Analysis of packaged drinking water use in Indonesia in the last decades” di jurnal Water Policy, AMDK juga terkontaminasi zat berbahaya, seperti tinja.

Pencemaran terjadi karena proses pengolahan air minum tidak efektif menghilangkan zat berbahaya. Umumnya ini terjadi di depot air isi ulang. Selain itu bisa juga proses pengemasan dan penyimpanan AMDK kurang higienis, sehingga mengakibatkan re-kontaminasi pada air minum. 

Sejumlah penelitian pun menemukan kandungan mikroplastik dalam AMDK. Mikroplastik adalah partikel plastik kecil, berasal dari botol kemasan atau galon air minum, yang berpotensi merusak sistem tubuh manusia.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira