Pembangunan kawasan wisata Mandalika diberitakan menyisakan utang triliunan rupiah. Di kawasan itu juga terdapat sirkuit yang menjadi lokasi balapan motor seperti MotoGP dan WSBK. Namun penyelenggaraan ajang balap kelas dunia itu pun masih mengalami kerugian.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika ditargetkan menjadi kawasan pariwisata unggulan Indonesia. Pemerintah menetapkan kawasan yang terletak di bagian selatan Pulau Lombok tersebut sebagai destinasi prioritas. Destinasi prioritas ini kerap disebut sebagai “Bali baru”.
Bali merupakan daerah tujuan pariwisata utama di Indonesia. Dengan menciptakan Bali baru, maka kue ekonomi dari industri pariwisata dapat lebih merata ke daerah lain. Maka dibangunlah kawasan-kawasan wisata baru untuk menarik banyak turis, terutama mancanegara, karena dianggap memiliki banyak uang untuk dibelanjakan.
Pemerintah mulai mencanangkan 10 Bali baru pada 2015, yakni Borobudur di Jawa Tengah, Mandalika di NTB, Labuan Bajo di NTT, Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, Kepulauan Seribu di Jakarta, Danau Toba di Sumatera Utara, Wakatobi di Sulawesi Utara, Morotai di Maluku Utara, Tanjung Lesung di Banten, dan Kepulauan Seribu & Kota Tua di Jakarta.
Dari kesepuluh destinasi, pemerintah lalu menetapkan lima destinasi super prioritas (DSP). Kelima DSP ini adalah Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Danau Toba, dan Likupang di Sulawesi Utara yang baru ditambahkan pada 2019.
Tidak Dilengkapi Perencanaan Matang
Dosen Perencanaan Kepariwisataan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Myra P Gunawan, mempertanyakan alasan pembangunan 10 destinasi prioritas. Masalahnya, penentuan kesepuluh tujuan wisata baru tersebut tidak dilakukan melalui naskah akademik.
“Saya tidak tahu bagaimana 10 destinasi prioritas, 5 super prioritas itu dipilih,” kata Myra dalam sebuah kuliah umum di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB, Bandung, pada 23 Mei 2023.
Penetapan 10 “Bali baru” dilakukan pada 2015. Saat itu, Presiden Joko Widodo mengatakan penetapan Bali baru ini agar wisatawan tidak hanya terpusat di Bali. Alhasil, daerah lain juga dapat menikmati pendapatan dari pariwisata.
Satu-satunya dasar penetapan 10 destinasi prioritas adalah Surat Sekretariat Kabinet Nomor: B-652/Seskab/Maritim/11/2015. Menteri Pariwisata saat itu, Arief Yahya, mengatakan pemilihan 10 destinasi karena secara bisnis menjadi lokasi yang paling cepat menyedot wisatawan, sehingga memiliki dampak perekonomian.
Penentuan destinasi prioritas mengacu Peraturan Pemerintah (PP) nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2015. Meski begitu, PP tersebut tidak menyebut 10 destinasi prioritas yang akhirnya ditetapkan pada 2015.
Kesepuluh destinasi prioritas juga tidak ada dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pariwisata 2015 – 2019. Renstra tersebut memang menyebut “10 daerah potensial untuk destinasi wisata”. Namun, kesepuluh daerah tersebut berbeda dengan 10 “Bali baru” yang akhirnya ditetapkan. (Baca: Di Balik Gemerlap Mandalika, Cermin Pembangunan Wisata yang Gegabah)
Target tidak Tercapai
Pemerintah menargetkan pembangunan lima destinasi super prioritas dapat menarik investasi US$8-10 miliar. Namun sejak 2017 hingga kuartal II-2022, baru tercapai US$487,3 juta.
Penetapan kelima destinasi super tersebut juga belum berhasil mengalihkan tujuan wisatawan ke luar Pulau Bali. Pada 2022, Bandar Udara Ngurah Rai masih menjadi pintu masuk utama wisatawan mancanegara.
Dalam Renstra Kementerian Pariwisata 2015-2019, pemerintah menargetkan kontribusi sektor pariwisata terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dari 4% pada 2015 menjadi 8% pada 2019. Untuk mencapainya, jumlah wisatawan mancanegara ditargetkan meningkat dari 10 juta menjadi 20 juta pada 2019.
Kenyataannya, kontribusi pariwisata terhadap PDB tidak mampu menembus 5% pada 2019. Alih-alih meningkat, kontribusinya sempat turun pada 2016 dan 2017. Pada 2019, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB hanya 4,8% jauh dari target 8%.
Jumlah wisatawan mancanegara juga tidak pernah mencapai 20 juta. Pada 2019, jumlah wisatawan mancanegara baru mencapai 16,1 juta. Ini sekaligus jumlah turis asing tertinggi sebelum pandemi.
Padahal, Indonesia telah membebaskan visa kunjungan wisatawan asing dari 159 negara pada 2016. Pemerintah telah menghentikan sementara kebijakan ini pada Juni 2023. Presiden Jokowi mengatakan, perlu ada evaluasi apakah aturan ini menguntungkan Indonesia atau tidak.
Menurut Myra, pemerintah memasukkan data pelintas batas darat sebagai wisatawan. Hal ini untuk mencapai target 20 juta wisatawan asing. Sebagai informasi, Indonesia memiliki perbatasan darat dengan Timor Leste, Papua Nugini, dan Malaysia.
BPS menggunakan data Direktorat Jenderal Imigrasi dan mobile positioning data (MPD) untuk pencatatan wisatawan mancanegara. Wisatawan yang dimaksud BPS adalah setiap pengunjung yang tinggal sekurang-kurangnya 24 jam—tetapi tidak lebih dari 12 bulan—di tempat yang dikunjungi dengan maksud berkunjung.
Jika melihat data BPS, pencatatan wisatawan mancanegara dari negara batas darat seperti Timor Leste dan Papua Nugini belum lama dilakukan. Pencatatan wisatawan dari kedua negara pertama kali dilakukan pada 2017.
Pada 2017, jumlah kunjungan dari Timor Leste mencapai 960.026 dan dari Papua Nugini sebanyak 141.299. Timor Leste juga langsung melesat menjadi negara asal kunjungan terbanyak kelima di Indonesia.
Bahkan selama pandemi Covid-19, pengunjung asal Timor Leste menjadi yang terbesar, tepatnya pada 2020 dan 2021. Pada 2022, Timor Leste turun ke peringkat ketiga di bawah Malaysia dan Singapura ketika pembatasan perjalanan antarnegara mulai dilonggarkan.
Permasalahan di Pulau Bali
Tak hanya kawasan wisata baru, pariwisata Bali yang sudah relatif lebih mapan pun masih mengalami banyak masalah. Belum lama ini Gubernur Bali I Wayan Koster mengeluhkan banyak wisatawan asing yang tidak benar-benar berliburan di Pulau Dewata tersebut.
Banyak turis asing justru bekerja di sektor informal, yang banyak digeluti penduduk lokal. Bahkan ada wisatawan yang datang ke Bali karena menghindari konflik di negara asalnya, seperti dari Rusia dan Ukraina.
(Baca: Bali Menuai Dampak Buruk Pariwisata Massal)
Kurangnya pengawasan terhadap penggunaan produk luar negeri dan pekerja asing ini berpotensi menyebabkan kebocoran dari sektor pariwisata atau hilangnya potensi devisa yang seharusnya masuk ke neraca pembayaran Indonesia.
Temuan ini muncul dalam penelitian berjudul “Tourism Leakage of the Accommodation Sector in Bali” yang terbit dalam ASEAN Journal on Hospitality and Tourism.
Suryawardani dkk. (2016) dalam penelitiannya tersebut, menghitung sumber devisa yang hilang berasal dari pembayaran produk dan jasa impor, pembayaran gaji pegawai asing, dan pemindahan laba ke pemilik hotel asing. Sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah 79 hotel dengan klasifikasi hotel bintang 1-3, hotel bintang 4 dan 5, serta hotel nonbintang.
Hasil penelitian menemukan kebocoran devisa mencapai 18,8%. Kebocoran terbesar ditemukan di hotel jaringan bintang 4 dan 5 yang dapat mencapai 51%. Hotel jaringan maksudnya adalah hotel yang tergabung dalam bisnis waralaba hotel internasional.
Sementara, kebocoran paling kecil justru ditemukan di hotel nonbintang yang hanya sebesar 8,8%. Kebocoran yang ditemukan di hotel bintang 1-3 tercatat sebesar 12%.
Penelitian menyimpulkan semakin besar kebocoran berarti semakin sedikit pendapatan pariwisata yang diterima hotel-hotel secara langsung. Semakin besar kebocoran juga mengindikasikan semakin kecil pendapatan yang diterima masyarakat Bali dari sektor pariwisata.
Tim peneliti juga menyoroti perlu adanya upaya untuk meminimalisasi kebocoran pariwisata di hotel bintang 4 dan 5. Caranya dengan mengurangi produk dan jasa impor. Ini bisa dengan memproduksi substitusi produk impor dan mengurangi jumlah karyawan asing di hotel berbintang.
“Mengurangi kebocoran pariwisata berarti memberi lebih banyak kesempatan untuk produk lokal dan menyediakan kesempatan kerja lebih banyak untuk orang lokal,” tulis Suryawardani dkk.
Editor: Aria W. Yudhistira