Drama Korea semakin menemukan momentum di Indonesia seiring peralihan perilaku masyarakat selama pandemi Covid-19. Kondisi ini mendorong penggunaan layanan streaming video on demand (VoD) serta berpotensi meningkatkan perekonomian Korea Selatan.
Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan 842 dari 924 responden atau setara 91,1% menonton drama Korea selama wabah. Jumlah ini meningkat 3,3% dari sebelum pandemi. Bahkan 8% responden mengaku sebagai penonton baru. Secara jenis kelamin, 92,6% penonton adalah perempuan.
Dari seluruh responden yang mengaku menonton drama Korea, 41,3% di antaranya mengaku melakukannya lebih dari enam kali dalam seminggu. Durasi menonton pun turut meningkat dari rata-rata 2,7 jam per hari sebelum pandemi, menjadi 4,6 jam.
Survei ini dilakukan pada April lalu atau saat pandemi baru berjalan sebulan di negeri ini. Saat itu, drama Korea yang laris di pasaran adalah The World of The Married Couple yang menceritakan keretakan rumah tangga Lee Tae Oh dan Ji Sun Woo akibat perselingkuhan. Viu dalam situs resminya mencatat seri tersebut dinikmati 55% dari total penontonnya saat masih bergulir.
Judul-judul lain drama Korea pun terus bermunculan. Salah satu yang ramai menjadi perbincangan adalah Start-Up yang menceritakan kisah pemuda Nam Do-San berusaha membuat startup dan akhirnya terjebak cinta segitiga dengan Seo-Dalmi dan Han-Jipyeong.
Analisis perbincangan di Twitter menggunakan Socialbearing pada 27 November 2020 menunjukkan 730 cuitan dengan kata kunci “drakor start-up” dalam rentang waktu satu jam antara pukul 21.00-22.00 WIB.
Peningkatan penonton drama Korea tak lepas dari masyarakat Indoesia yang lebih banyak beraktivitas secara virtual selama pandemi Covid-19. Survei Alvara menunjukkan 82,7% responden menghabiskan waktu untuk bermedia sosial, 75,1% berselancar di internet, dan 57,8% menonton film.
Khusus aktivitas menonton film, survei Litbang Kompas menunjukkan 31% responden melakukannya melalui situs penyedia konten gratis. Sementara, 11,4% menontonnya melalui penyedia VoD berbayar, seperti Iflix, Netflix, dan Viu. Dua yang terakhir disebut sangat aktif menayangkan drama Korea, sebagai bagian dari strategi pemasarannya.
Sejak akhir tahun lalu, Netflix meningkatkan investasinya di Korea Selatan dan menggandeng sejumlah studio besar seperti CJ ENM dan JTBC. Lebih dari 70 acara buatan kreator lokal Negeri Gingseng dirilis sebabagai konten original dan tersedia dalam 31 bahasa subtitle. Salah satunya berjudul Extracurricular yang menceritakan prostitusi remaja.
Viu melakukan hal serupa dengan menggandeng SBS dan KBS melalui Wavve, CJ ENM, dan JTBC pada Juli lalu. “Investasi kami mencakup konten pan-regional teratas, seperti Parasite hingga produksi Viu original,” kata Managing Director PCCW Media Group Janice Lee pada Juni lalu melansir Avia.org. PCCW Media Group merupakan pengelola Viu.
Menurut PricewaterhouseCoopers (PwC), pendapatan film terlaris (box office) tiga kali lipat layanan VOD pada 2015. Namun SVOD diperkirakan akan menggeser posisi box office pada 2020 dan terus tumbuh hingga lima tahun mendatang.
Drama menjadi satu dari sejumlah produk media dan hiburan Korea Selatan, menurut Eun-song Bae dkk dalam penelitian berjudul The effect of Hallyu on tourism in Korea. Fenomena itu tecermin dalam istilah “Korean Wave (Hallyu)” yang berarti budaya pop Korea tersebar dan mendapat tempat di pasar global.
Sepanjang 2018, Korea Selatan tercatat menguasai 2,7% pasar media dan hiburan global. Menempati posisi kedelapan, tepat di bawah Brazil. Hal ini tak lepas dari dukungan pemerintah terhadap industri media dan hiburan dengan beragam kebijakan dan membangun Badan Konten Kreatif Korea (KOCCA).
KOCCA bertugas untuk mempromosikan industri media dan hiburan dan tak bergerak sendiri. Badan ini terintegrasi dengan Institut Penyiaran Korea, Badan Konten dan Budaya, serta Badan Gim Korea. Sebuah hal yang menjadikan ekosistem media dan hiburan di Korea Selatan sangat kuat dan bisa menjangkau pasar global.
Nilai ekspor industri kreatif Korea Selatan terus meningkat dari waktu ke waktu. Sejak 2014 hingga 2018, tercatat kenaikan hingga 81,2% daari US$ 5,3 miliar atau Rp 74,8 triliun menjadi US$ 9,6 miliar atau Rp 135,4 triliun (kurs Rp 14.100/USD).
Sementara penjualan tahunan industri media dan hiburan pada 2018 sebesar 13,9 triliun won hingga 21,1 triliun won. Nominal itu sama dengan Rp 178,3 triliun sampai Rp 270,1 triliun (kurs Rp 12,8/KRW).
Pada 2005-2014, Indonesia masuk dalam mitra ekspor terbesar Korea Selatan. Nilai ekspor sektor media dan hiburan Korea Selatan ke negeri ini melonjak nyaris empat kali lipat selama satu dekade. Pada 2005, tercatat senilai US$ 90,5 juta atau Rp 1,3 triliun dengan kurs Rp 14.100/USD. Angkanya meningkat menjadi menjadi US$ 340,4 juta atau setara Rp 4,8 triliun pada 2018.
Berkaca pada tren menonton drama Korea yang meningkat di Tanah Air selama pandemi Covid-19, bukan tidak mungkin nilai ekspor sektor media dan hiburan Korea Selatan terus melonjak. Sekaligus semakin menjadikan negeri ini pasar yang potensial bagi mereka.
Namun, sudah semestinya Indonesia tak hanya menjadi pasar dunia hiburan dan media Korea Selatan. Melainkan, bisa mengambil pelajaran dari mereka untuk mengembangkan potensi industri media dan hiburan dalam negeri, bahkan mengekspornya ke negara lain.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi