Advertisement
Analisis | Mengurai Masalah Ketimpangan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengurai Masalah Ketimpangan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Pemerintah memacu program vaksinasi untuk mengendalikan pandemi dan menekan tingkat keparahan akibat Covid-19. Tapi, pemerataan program vaksinasi di semua daerah menghadapi sejumlah masalah.
Dimas Jarot Bayu
28 Juli 2021, 12.28
Button AI Summarize

Vaksinasi adalah salah satu kunci penting dalam penanganan pandemi Covid-19. Pengalaman di sejumlah negara, semakin tinggi rasio penduduk yang divaksinasi maka tingkat fatalitas dapat dikurangi. Pemerintah pun menggencarkan program vaksinasi untuk mencapai target minimal 70% dari total populasi guna menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity).

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), baru 44,6 juta penduduk yang telah divaksinasi. Jumlah itu setara dengan 16,5% dari total penduduk Indonesia yang sebanyak 270,2 juta jiwa pada 2020. Sementara yang sudah mendapatkan vaksinasi kedua sebanyak 17,9 juta penduduk atau 6,6% dari populasi.

Persoalannya, cakupan vaksinasi belum merata antar-provinsi. Tercatat hanya Bali dan Jakarta yang cakupan vaksinasinya sudah di atas 50%. Di bali, total dosis pertama yang diberikan mencapai 5,4 juta orang atau 69,74% dari total populasi Bali. Sedangkan untuk dosis kedua sudah diberikan kepada 791,2 ribu orang (18,33%).

Di Jakarta, ada 6,95 juta orang (65,77%) yang telah mendapatkan dosis pertama vaksin corona. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2,15 juta orang (20,35%) juga telah mendapatkan dosis kedua vaksin corona.

Sementara di beberapa provinsi lain, cakupan vaksinasi masih sangat rendah, bahkan untuk dosis pertama. Lampung, misalnya, baru mampu menyuntikkan kepada 598.895 orang atau 6,64% dari populasinya. Sedangkan, pemberian dosis kedua vaksin corona baru kepada 311.264 orang atau 3,5% dari total penduduk.

Demikian pula di Maluku Utara telah memberikan dosis pertama kepada 108.186 orang (8,4%). Sedangkan, pemberian dosis kedua vaksin corona baru kepada 41.470 (3,23%).

Salah satu penyebab timpangnya cakupan vaksinasi di berbagai daerah lantaran distribusi vaksin yang belum merata. Jakarta telah mendapatkan jatah vaksin mencapai 8,89 juta dosis hingga 1 Juli 2021.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk ibu kota mencapai 10,6 juta jiwa. Jika diasumsikan setiap orang mendapatkan dua dosis, maka rasio stok vaksin per penduduk di Ibu Kota mencapai 42,12%.

Bio Farma mendistribusikan 3,43 juta dosis vaksin corona ke Bali. Dengan penduduk Bali sebanyak 4,32 juta jiwa dan setiap orang mendapat dua dosis vaksin, maka rasionya sebesar 39,76%.

Sementara, Lampung hanya mendapatkan 861,7 ribu vaksin corona hingga 1 Juli 2021. Artinya rasio ketersediaan vaksin hanya 4,78% dari total penduduk 9 juta jiwa. Hal serupa terjadi di Maluku Utara yang hanya mendapatkan 152,3 ribu dosis vaksin. Dengan penduduk sebanyak 1,3 juta jiwa dan setiap orang mendapat dua dosis vaksin, maka rasionya hanyalah 5,93%.

Persoalan belum meratanya distribusi vaksin sempat diutarakan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi di depan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto dalam konferensi virtual pada Rabu, 7 Juli 2021. Ketika itu, Arinal meminta pemerintah pusat memperhatikan vaksinasi di berbagai daerah, khususnya Lampung.

Pasalnya, Lampung masih kekurangan dosis vaksin untuk disuntikkan kepada warganya. Padahal, lampung merupakan pintu gerbang lalu lintas dari Jawa dan Sumatera.

“Kami sangat mengharapkan Pak Menko agar Lampung itu bisa terjaga (stok vaksinnya) karena banyak saudara-saudara kita dari Pulau Jawa mengatakan Lampung ini aman dan mencari pekerjaan di Lampung," ujar Arinal.

Kurang Tenaga Vaksinator Vaksin

Selain soal distribusi, sebaran vaksinator corona diperkirakan masih belum merata. Hingga saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memang belum merilis data jumlah vaksinator corona yang berada di seluruh provinsi.

Namun, sebaran jumlah vaksinator dapat diperkirakan dari data tenaga kesehatan yang ada saat ini. Pasalnya, tenaga kesehatan merupakan profesi utama yang direkrut untuk memvaksinasi penduduk Indonesia.

Berdasarkan data Kemenkes, ada 1,5 juta tenaga kesehatan di Indonesia pada 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 732,4 ribu atau 48,8% ada di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Rinciannya, 363,3 ribu (24,2%) di Sumatera, 99,3 ribu (6,6%) di Bali dan Nusa Tenggara, 110,7 ribu (7,4%) di Kalimantan, 144,5 ribu (9,6%) di Sulawesi, dan 50,3 ribu (3,3%) di Maluku dan Papua.

Masalah Logistik

Faktor lainnya lantaran belum semua puskesmas di seluruh Indonesia memiliki logistik yang mendukung program vaksinasi. Berdasarkan survei CISDI, 3,8% puskesmas tidak memiliki kulkas untuk vaksin yang berfungsi. Seluruh puskesmas tersebut tercatat berasal dari luar Pulau Jawa.

Sebanyak 7,1% puskesmas juga tidak memiliki kulkas yang dilengkapi dengan alat pemantau suhu. Sebanyak 3% puskesmas tak memiliki boks pendingin (cold box) untuk vaksin.

Kemudian, hanya 10,3% puskesmas yang memiliki ice pack untuk seluruh cold box mereka. Sebanyak 82,1% puskesmas menyatakan memiliki ice pack, namun hanya cukup untuk beberapa cold box saja.

Sebanyak 99% puskesmas menyatakan telah memiliki alat pembawa vaksin (vaccine carrier). Namun, masih ada 8,7% puskesmas yang belum memiliki ice pack yang cukup untuk seluruh vaccine carrier. Ice pack diperlukan untuk menjaga suhu di dalam cold box atau vaccine carrier untuk tetap sesuai standar.

Ada  pula 52%  puskesmas  yang  vaccine  carrier-nya  dilengkapi  dengan  alat pemantau suhu dan 14,67% tidak memiliki alat pemantau suhu sama sekali. Adanya alat pemantau suhu untuk memastikan suhu tetap terjaga dalam batas yang sesuai agar vaksin tidak rusak dan berfungsi optimal. 

Berbagai persoalan tersebut, mulai dari distribusi vaksin hingga kesiapan logistik di puskesmas, harus diatasi untuk memastikan vaksinasi corona merata di seluruh Indonesia. Dengan demikian, target herd immunity yang dibuat oleh pemerintah dapat dicapai dengan lebih cepat.

Juru bicara vaksinasi corona dari Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengakui masih adanya berbagai kendala, khususnya terkait distribusi vaksin. Menurut Nadia, hal tersebut terjadi mengingat stok secara nasional yang masih terbatas.

Indonesia membutuhkan 426 juta dosis untuk bisa memvaksinasi 70% penduduknya. Namun, vaksin yang telah diterima Indonesia baru sebanyak 130 juta dosis. Dari jumlah itu pun, 30 juta dosis masih berbentuk bahan baku. Sedangkan, 30 juta dosis masih dalam proses pengujian mutu dari BPOM.

“Ini harus dipahami bahwa vaksin yang kita terima baru 30% dari kebutuhan,” kata Nadia kepada Katadata.co.id pada Senin, 26 Juli 2021.

Karena stoknya yang terbatas, distribusi vaksin corona pun dilakukan berbasis risiko. Daerah-daerah yang memiliki kasus corona tinggi akan mendapatkan vaksin lebih banyak.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, 50% vaksin corona yang ada telah didistribusikan ke Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Ketujuh provinsi tersebut tengah menjadi episentrum corona pada saat ini.

“Ya karena kemungkinan terkenanya juga banyak, masuk rumah sakit juga banyak, yang wafat juga banyak. Nah, provinsi-provinsi itu otomatis akan mendapatkan prioritas,” kata Budi dalam konferensi virtual pada Senin, 26 Juli 2021.

Editor: Aria W. Yudhistira