Alarm dari Lapangan Banteng akan Ancaman Fintech bagi Perbankan

Muchamad Nafi
1 April 2018, 17:58
Fintech
Arief Kamaludin (Katadata)

Perkembangan teknologi finansial atau fintech dalam dua tahun terakhir begitu pesat. Beberapa layanan yang ditawarkan memasuki ceruk perbankan. Walau secara nilai transaksi masih jauh di bawah bisnis lembaga keuangan tersebut, penetrasi perusahaan rintisan (startup) dalam sektor jasa keuangan ini terus menggurita.

Tak sedikit yang khawatir gerak perusahaan-perusahaan fintech makin menggerogoti bisnis perbankan. Ada dua pilihan bagi bank: menghadang laju fintech atau membaur dengannya. Dan Otoritas Jasa Keuangan menyarankan agar perbankan berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan startup di teknologi finansial tersebut. (Baca juga: Inilah 13 Fintech yang Akan Berkembang Pesat di Indonesia).

Alarm dari OJK yang bermarkas di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat ini untuk mengantisipasi benturan kedua lini industri keuangan tadi. “Kalau mereka tidak mau berkolaborasi, akan terlibas oleh perkembangan fintech,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana di Jakarta, Kamis (29/3/2018). Baginya, ini jalan keluar seiring perubahan perilaku masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan.

OJK mengklasifikasikan fintech dalam dua kategori: fintech 2.0 untuk layanan keuangan digital yang dioperasikan lembaga keuangan dan fintech 3.0 untuk startup teknologi finansial untuk produk dan jasa inovasi keuangan. Kategori kedua ini yang pertumbuhannya melesat. Misalnya, sepanjang 2016, startup fintech meningkat hampir tiga kali lipat. Pada triwulan pertama tahun itu baru ada 51 perusahaan lalu melejit menjadi 135 startup pada triwulan IV. Jumlah tersebut belum termasuk fintech yang dikembangkan oleh lembaga keuangan.

Melihat perkembangan pesat ini, OJK serius mendorong kolaborasi tersebut. Perbankan mesti memasuki ranah digital. Lembaga regulator industri keuangan ini pun hendak merilis dua aturan supaya perbankan tidak mati karena kalah bersaing dengan fintech. “Kami menamakan regulasinya digital banking,” kata Pelaksana tugas (Plt) Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Antonius Harie P.M.

Dalam pertumbuhan fintech yang pesat, Antonius mengakui ada ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di perbankan akibat disrupsi teknologi. Di Amerika Serikat, misalnya, ia mencatat 1.700 kantor cabang tutup. Tentunya, hal itu berpengaruh pada nasib karyawannya. Hal serupa pun terjadi di Inggris. Gelombang tersebut tidak mustahil menyapu Tanah Air.

Di Indonesia sendiri, Citibank menyatakan sudah menutup 10 kantor cabangnya pada 2016. Jumlah tersebut setengah dari kantor cabang yang dimiliki bank asal Amerika Serikat di Indonesia. “Untuk transfer, transaksinya tidak lagi datang ke cabang,” kata Chief Executive Officer Citibank Indonesia Batara Sianturi. (Baca: Citibank Genjot Transaksi Kartu Kredit Lewat E-Commerce).

Citibank pun makin beradaptasi dengan perubahan perilaku nasabah. Kerja sama dibangun dengan sejumlah e-commerce. Misalnya, program 50 % off The Next Transaction saat berbelanja di lima e-commerce: Blibli, Bukalapak, Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Dengan satu juta nasabah kartu kredit, kerja sama ini memberi peluang bagi mereka lebih mudah dalam bertransaksi di e-commerce.

Batara sepakat perbankan sedang memasuki era kolaborasi dengan perusahaan digital seperti e-commerce dan fintech. Kerja sama ini penting untuk saling mengisi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. “Paradigmanya berubah jadi kolaborasi, bisa terkoneksi dengan application processing interface (API),” ujar Batara.

Pasar Teknologi Finansial Indonesia

SektorPangsa Pasar (%)
Pembayaran42,22
Pembiayaan17,78
Agregator12,59
Personal/Financial Planning8,15
Crowdfunding8,15
Lainnya11,11

Sumber: Asosiasi Fintech dan Otoritas Jasa Keuangan

Pentingnya kolaborasi perbankan dan fintech juga disampaikan Paulus Sutisna. Presiden Direktur DBS Indonesia ini menyatakan kalangan perbankan tak bisa lagi menutup mata dengan gelombang baru teknologi finansial. Sebab, bila ingin bertahan pada era saat ini tidak bisa tanpa menghiraukan fintech. “Bukan hanya untuk bertahan tapi untuk menjadi besar.”

DBS pun sedang dalam proses membeli sebagian saham perusahaan fintech Indonesia. Walau tanpa menyebut perusahaan yang hendak dimasuki, Paulus memberi bocoran besarannya sekitar 10 persen. (Baca: Bila Ingin Bertahan, Harus Bekerja Sama dengan Fintech).

Bila rencana-rencana seperti ini juga dilaksanakan oleh bank lainnya, industri perbankan dapat merebut kembali penguasaannya di sektor keuangan. Selama ini, akses perbankan yang masih rendah membuka peluang besar bagi tumbuhnya fintech. Kemajuan ekonomi digital telah meningkatkan pendanaan bagi para pelaku usaha melalui layanan peer to peer (P2P) lending yang mekanisme pembiayaannya merupakan terobosan dari praktik perbankan konvensional.

Data Bank Indonesia memperlihatkan penduduk dewasa yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal baru 36,06 persen pada 2014. Sementara yang memiliki tabungan hanya 15,3 persen, bahkan yang memiliki pinjaman ke lembaga keuangan formal hanya 8,5 persen.

Hingga akhir semester pertama tahun lalu, kredit perbankan saat ini baru mencapai 34,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) yang hampir mencapai Rp 13 ribu triliun. Sedangkan kredit untuk sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) hanya 6,84 persen dari PDB dan sebesar 19,63 persen dari total kredit perbankan.

P2P lending tumbuh pesat berkelindan dengan peminjam dana dan pemberi pinjaman naik sangat tinggi. Pada 2017, jumlah peminjam dana mencapai 259.635 orang, naik 581,4 persen (yoy) dari 2016 sebanyak 38.105 orang. 

Melihat data-data tersebut, Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH) mendukung OJK yang terus mendorong agar terjadi kolaborasi perbankan dan fintech. Namun, AFTECH menekankan agra OJK perlu lebih memahami, membedakan, dan mengawasi kegiatan fintech terutama yang bergerak di usaha P2P lending secara proporsional.

Misalnya terkait dengan tata kelola usaha yang baik, transparansi transaksi, pelaporan dengan melibatkan auditor independen, dan manajemen risiko yang tertata rapi. Dalam menilai penyedia P2P lending yang berkualitas, OJK juga perlu mempertimbangkan perlindungan konsumen dan pelaku usaha dan usaha dalam menekan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL)-nya. 

(Baca: Dianggap Rentenir oleh OJK, Fintech Jelaskan Perhitungan Bunga)

Mereka meminta penyedia layanan P2P dibedakan dengan penyedia layanan pay-day loan maupun rentenir. Karena itu, “OJK perlu mengenali perbedaan antara penyedia layanan P2P lending yang beroperasi murni didasari semangat inklusi keuangan untuk merangkul mereka yang under banked serta profesi non-formal dan penyedia layanan yang memberlakukan pay-day loan atau mengenakan bunga harian kepada nasabah,” demikian laporan tertulis mereka pada akhir pekan ini.

Reporter: Desy Setyowati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...