Saham Sektor Keuangan Terus Tertekan, IHSG Turun 0,35%
Bursa saham dalam negeri kembali berada di zona merah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,35% setara 20,35 basis poin menjadi 5.831,12 pada Senin (10/9).
"Seakan investor bersikap hati-hati menjelang libur Tahun Baru Islam pada Selasa (11/9)," kata Analis Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi melalui keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id, Senin (10/9).
Saham emiten sektor keuangan ditutup melemah 0,65% sehingga menekan IHSG sejak awal sesi perdagangan, mayoritas saham perbankan masuk ke zona negatif. Penahan IHSG adalah saham sektor pertanian dan pertambangan, masing-masing menguat 0,51% dan 0,03%.
Menurut Lanjar, penguatan saham pertanian dan pertambangan terpengaruh adanya tambahan 22 juta ton produksi batu bara pada tahun ini. Investor melihat ada prospek ekspor komoditas pertanian dan tambang yang cukup positif.
Secara teknis, IHSG berpeluang menguat di kisaran 5.809 - 5.911. Saham-saham yang masih dapat dicermati diantaranya AKRA, BWPT, HRUM, INCO, ADRO, ELSA, TRAM. (Baca juga: OJK: Investor Saham Tak Khawatir Pelemahan Rupiah)
Senior Vice President Intermediary Business Schroders Adrian Maulana menilai, aksi jual di pasar saham lantaran muncul reaksi panik efek dari krisis finansial di beberapa negara yang menjalar ke negara berkembang termasuk Indonesia.
"Di negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, mengalami twin deficit, yaitu defisit transaksi berjalan dan defisit fiskal," katanya. (Baca juga: Kendalikan Defisit Transaksi Berjalan, Bunga Acuan BI Naik 25 Bps)
Indonesia dianggap lebih baik ketimbang mereka yang sedang krisis, yaitu Argentina, Turki dan Brasil. Negara-negara ini mengalami lonjakan inflasi, contohnya Turki yang menyentuh 18% sedangkan Argentina 31%. Inflasi Indonesia saat ini 3,2%.
Adrian berpendapat, valuasi obligasi dan saham sampai dengan Senin (10/9) terlihat lebih menarik. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun sekarang 8,6%. Adapun, IHSG sejak awal tahun (year to date) di posisi koreksi 8,29%.
"Butuh kebijakan pemerintah yang lebih struktural dan konkrit untuk meredam volatilitas," ujarnya. (Baca juga: Risiko Investasi Indonesia Meninggi akibat Defisit Transaksi Berjalan)