Asosiasi dan Peneliti Usul Pajak E-commerce Ditunda Hingga 2021
Kebijakan mengenai pajak e-commerce akan berlaku 1 April 2019. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) dan Katadata Insight Center (KIC) menilai aturan pajaknya belum menjawab kekhawatiran pelaku usaha. Karena itu, implementasinya perlu ditunda hingga 2021.
Ketua Bidang Ekonomi Digital iDEA Bima Laga mengatakan, ada beberapa poin dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Pajak Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau e-commerce yang belum siap untuk diimplementasikan. Misalnya, pengawasan atas transaksi di media sosial.
Asosiasinya pun sudah mengeluhkan beberapa hal ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selama dua bulan terakhir atau sejak dirilisnya PMK Nomor 210. “Poin terkait sosial media itu sama sekali tidak ada di aturan,” ujarnya dalam Katadata Forum bertema ‘Polemik Aturan Perpajakan Bagi E-Commerce’ di Jakarta, Kamis (28/3).
(Baca: Demi Pajak E-Commerce, Kemenkeu Buka Kajian Ekosistem Digital)
Padahal, idEA mencatat penjualan di media sosial seperti Facebook dan Instagram mencapai 66 % dari keseluruhan transaksi secara online di Indonesia pada 2017. Hanya, 16 % yang bertransaksi melalui platform marketplace.
Untuk itu, ia berkukuh agar pemerintah menjamin pengawasan transaksi di media sosial sejalan dengan di e-commerce guna menciptakan kebijakan yang setara. Ia pun sepakat bahwa semestinya implementasi kebijakan ini ditunda selama dua tahun ke depan.
Harapannya, pemerintah bisa berdiskusi secara rutin dengan idEA guna membahas kebijakan ini. “Kalau media sosial tidak dilibatkan, kehawatiran kami akan ada perpindahan penjual ke sana,” ujar dia.
(Baca: Pelaku UMKM Minta Aturan Pajak E-Commerce Ditunda Satu Tahun)
Deputy Head of Research and Data Katadata.co.id Stevanny Limuria menambahkan, transaksi e-commerce di media sosial cukup besar. Survei PayPal terhadap 4 ribu konsumen dan 1.400 merchant di tujuh negara Asia pada 2017 menunjukkan, 80 % memakai media sosial untuk bertransaksi. Ketujuh negara itu adalah Tiongkok, India, Hong Kong, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina.
(Baca: Khawatir Pajak, Penjual Marketplace Diprediksi Beralih ke Media Sosial)
Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu mengkaji penerapan aturan pajak e-commerce. “Dua tahun itu waktu yang tepat untuk mematangkan regulasi dan edukasi di masyarakat. Secara pelan-pelan, nantinya Indonesia akan menerapkan dan lebih terbuka soal perpajakan e-commerce ini," ujar dia.
Alternatif solusinya, menurut dia, bisa melalui akses bank, sehingga pemerintah bisa mendapatkan data dan profil pelaku e-commerce dari perbankan secara otomatis. Pemerintah juga perlu mengedukasi masyarakat mengenai aturan perpajakan tersebut. Terakhir, menerbitkan peraturan lanjutan guna memperjelas cara mengatur dan penegakan hukum e-commerce di media sosial.
(Baca: Pantau Perdagangan via Medsos, Ditjen Pajak Rencanakan Sistem Otomatis)
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo sepakat bahwa pemerintah perlu mengkaji peta jalan e-commerce. “Butuh dua tahun untuk membuat peta itu supaya ada kesiapan yang matang dari segi infrastruktur, regulasi, pelaku paham alurnya, dan lainnya,” ujarnya.
Meski begitu, menurutnya pemerintah berkomitmen untuk mengakomodasi keluhan dari para pelaku dan menciptakan kebijakan yang setara. Hal itu tampak dari beberapa poin dalam kebijakan tersebut yang sudah fleksibel.
Ia mencontohkan,Ditjen Pajak tidak mewajibkan perusahaan e-commerce sebagai pemungut pajak. Selain itu, penjual dengan omzet di bawah Rp 300 juta per tahun bisa menggunakan Nomor Induk Kependuduk (NIK) untuk melapor pajaknya. Sedangkan penjual yang omzetnya melebihi itu wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
(Baca: Tak Ditunda, Kemenkeu Akan Rilis Aturan Teknis Pajak E-Commerce)