Rencana Pencalonan Anggota BPK dari Politisi Menuai Kritik

Agatha Olivia Victoria
24 Mei 2019, 08:34
calon anggota BPK, INDEF, Bhima Yudhistira
Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi, logo Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Sejumlah nama politisi muncul dalam jajaran calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Nama-nama tersebut antara lain Ahmadi Noor Supit dari Golkar, Jon Erizal dari PAN dan Pius Lustrilanang dari Gerindra.

Munculnya nama-nama politisi ini dikritik oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira. Ia menilai penempatan politikus sebagai anggota BPK dirasa kurang tepat. Ia menilai, BPK seharusnya diisi oleh orang-orang yang sudah profesional di bidang keuangan.

"Jika pemimpin BPK berasal dari politisi akan mendatangkan masalah, padahal rekrutmen pegawainya sudah profesional," ujar Bhima kepada Katadata, Kamis (23/5).

Proses seleksi anggota BPK terdiri dari beberapa tahapan, mulai dari pembukaan pendaftaran calon anggota BPK, rapat intern dengan agenda seleksi administrasi, Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilanjutkan dengan fit and proper test dan pemungutan suara (voting) dari anggota komisi XI DPR RI.

Nah, salah satu proses seleksi angota BPK, yaitu fit and proper test dipandang Bhima diwarnai kepentingan politik partai. Ia menganggap, selama proses seleksi selalu diwarnai kepentingan politik, akan sulit sosok profesional atau pejabat karier bisa jadi orang nomor 1 di BPK ke depannya.

Bhima berpendapat, jika proses seleksi selalu sarat kepentingan politik, maka potensi konflik kepentingan akan terus berlanjut. Sederet kasus seperti kasus sengkarut audit kerugian negara Sumber Waras di era Harry Azhar menjadi salah satu contoh.

"Kalau diperhatikan, kasus itu kan sangat kental ya nuansa politiknya," ujar Bhima.

Sekadar info, kasus Sumber Waras mencuat setelah BPK menyebut laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2014 mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Salah satu indikasinya, yaitu pengadaan lahan RS Sumber Waras di Jakarta Barat dinilai tidak melewati proses pengadaan memadai.

Oleh karena itu, BPK mencatat pembelian lahan merugikan keuangan negara senilai Rp 191 miliar. KPK pun turun tangan dalam perkara ini dengan meminta BPK mengadakan audit investigasi. Dan sampai sekarang kasus ini mengambang.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...