Beban Berat Bisnis Penunjang Hulu Migas di Tengah Pandemi
Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) berusaha bertahan di tengah gempuran krisis akibat pandemi Covid-19. SKK Migas terpaksa menempuh langkah efisien bagi para kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS dalam mencari sumber cadangan baru.
Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan para kontraktor harus memprioritaskan program kerja yang memiliki prospek bagus. Program kerja yang tak ekonomis terpaksa dikurangi. "Strategi umumnya adalah semua harus melakukan efisiensi besar-besaran agar bisa survive di semua lini," ujar Julius kepada Katadata.co.id, Selasa (20/10.
Sejak pandemi corona terjadi pada awal tahun ini, harga minyak mentah dunia langsung anjlok. KKKS pun mulai mengurangi kegiatannya. Langkah efisiensi tersebut lalu berdampak pula ke industri penunjang migas, seperti perusahaan jasa konstruksi dan pengeboran.
SKK Migas dan Indonesia Petroleum Association alias IPA kemudian sepakat menjaga iklim investasi dengan menghindari pemutusan sepihak kontrak-kontrak pengadaan yang sudah berjalan. Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih menyebut banyak perusahaan yang saat ini berdarah-darah menghadapi penurunan harga minyak.
Kesepakatan dengan IPA merupakan salah satu upaya agar pengadaan barang dan jasa dapat berjalan lancar. Harapannya, program kerja dan anggaran (WP&B) 2020 yang telah disepakati SKK Migas bersama KKKS tetap terealisasi. “Kami mengusahakan agar kegiatan KKKS tetap berjalan supaya industri penunjang pun mendapat pekerjaan," ucap Susana.
SKK Migas juga telah mengajukan insentif kepada pemerintah. Namun, dari sembilan yang diajukan, baru dua yang disetujui, yaitu penundaan pembayaran dana pascatambang (ASR) dan penghapusan pajak pertambahan nilai atau PPN untuk gas alam cair alias LNG.
Untuk industri penunjang, badan pengatur kegiatan hulu migas itu tak berwenang mengajukan insentifnya. Peran SKK Migas hanya mendorong agar para kontraktor tetap melakukan pengadaan barang dan jasa. "Kami membuka peluang supaya mereka dapat memanfaatkannya," ujarnya.
Asosiasi Perusahaan Migas Nasional atau Aspermigas berpendapat tak banyak upaya pemerintah untuk membantu industri penunjang hulu migas. Pasalnya, kontrak bagi hasil (PSC) untuk pengembalian biaya operasi atau cost recovery semua mengacu pada pedoman tata kerja (PTK) 007. SKK MIgas tak bisa melakukan penunjukkan langsung karena semua melalui tender.
Karena itu, regulator hanya bisa memberi anjuran ke KKKS agar tetap menjalankan proses pengadaan barang dan jasa proyeknya. "Yang SKK Migas bisa lakukan adalah mempercepat persetujuan WP&B, tapi ini pun tidak akan mempengaruhi banyak keputusan KKKS. Untuk kontrak gross split, semua kebijakan pengadaan ada di tangan KKKS," kata Direktur Eksekutif Aspermigas Moshe Rizal Husin.
Belum Ada Bantuan untuk Industri Penunjang Migas
Moshe pun mendorong agar pemerintah segera memperhatikan nasib dari industri penunjang migas. Apalagi hingga kini belum terlihat adanya insentif untuk mereka, seperti pengurangan pajak atau skema pemberian kredit berbunga ringan. “Yang diperlukan adalah pemerintah merumuskan bantuan yang tepat bagi industri penunjang migas, seperti juga untuk industri lainnya," kata dia.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas dan Panas Bumi Indonesia (APMI) Wargono Soenarko mengatakan, perusahaan jasa pengeboran minyak perlu mendapat perhatian dari regulator. Selama ini pemerintah dinilai abai dengan kondisi industri migas.
Hal itu tercermin dari belum diselesaikannya Revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang migas. Kemudian posisi Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dibiarkan kosong terlalu lama. Padahal perannya cukup penting dalam menyelesaikan persoalan di sektor hulu.
Lalu, tak adanya kepastian hukum. Saat ini banyak anggota dari APMI yang bangkrut karena tak dibayar oleh KKKS. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak karena aturan tender kerap berubah-ubah. Persoalan lainnya adalah tarif harian operasi (THO) yang tidak wajar.
APMI mengaku telah mengirim surat kepada pemerintah terkait persoalan tersebut tapi belum menerima respon. "Jadi mau minta apa? Asosiasi kami tidak ada dalam undang-undang yang akan datang. Bahkan peran kami sebagai mitra sudah selesai. Sekarang satu perusahaan dapat izin tanpa sertifikasi kompetensi yang biasanya APMI keluarkan," kata dia.
Proyek Hulu Migas Tertunda Akibat Covid-19
SKK Migas menargetkan ada 12 proyek hulu migas dapat berproduksi pada tahun ini. Namun, pandemi corona membuat pelaksanaannya tertunda hingga tahun depan. Salah satu proyek yang terkena imbas adalah Proyek Merakes yang dikelola oleh Eni East Sepinggan Ltd.
Perusahaan asal Italia itu tetap melakukan proses persiapan untuk memulai kembali pengerjaan proyek tersebut. "Ini lagi persiapan. Kami sudah lega sih walaupun mundur 2021," kata Susana.
Ia juga menyebut ada tiga proyek yang seharusnya beroperasi pada tahun 2021 tapi dipercepat pada tahun ini. Dengan begitu, total proyek yang bakal onstream di tahun ini naik menjadi 14 proyek.
Tiga proyek yang mendapat percepatan salah satunya adalah pembangunan Bambu Besar yang dilaksanakan oleh Pertamina EP. Lalu, ada proyek reaktivasi Platform PHE-12 oleh Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO), dan pembangunan fasilitas kompresor gas Sembakung oleh Pertamina EP.
Pelaksanaan proyek-proyek tersebut seharusnya diselesaikan pada 2021, tetapi bisa diselesaikan pada tahun ini. Susana memperkirakan dari total 14 proyek yang ditargetkan rampung tahun ini, ada delapan hingga sembilan proyek yang telah selesai. "Sudah onstream sekitar delapan atau sembilan," ujarnya.
Sebagai informasi, pengeboran sumur eksplorasi di Indonesia cenderung mengalami penurunan. Dalam jangka waktu delapan tahun terakhir, level terendahnya terjadi pada 2018 dengan realisasi pengeboran hanya 21 sumur.
Jumlah blok migas di negara ini juga trennya menurun. Hal ini mulai terjadi usai 2013. Pada 2017 jumlahnya mencapai 255 blok. Terdiri dari 87 blok dalam tahap eksploitasi, 119 blok tahap eksplorasi konvensional, dan 49 blok eksplorasi nonkonvensional.