Jalan Panjang Proyek Migas Laut Dalam RI Usai Ditinggal Chevron

Image title
3 Februari 2021, 14:56
Indonesia Deepwater Development, IDD, SKK Migas, ENI, Chevron, blok migas, offshore, esdm
123RF.com/_fla
Ilustrasi. Proyek IDD Tahap II masih menunggu negosiasi alih kelola blok migas ini dari Chevron ke ENI.

Ia tak mengkhawatirkan terkait kondisi oversupply gas yang diproyeksi bakal membanjiri dunia. Pemanfaatannya dapat dimaksimalkan untuk kebutuhan domestik. "Karena kebutuhannya besar," kata dia kepada Katadata.co.id.

Pengamat energi Fahmi Radhi memproyeksi permintaan LNG masih akan turun akibat pandemi Covid-19. Di sisi lain, agregat pasar dalam negeri dan luar negeri sesungguhnya masih sangat besar. 

Apalagi, gas termasuk energi ramah lingkungan sehingga tidak ada resistensi dalam hal pemanfaatannya. Dengan kondisi itu, ia melihat, proyek IDD sangat prospektif. "Tidak mengherankan kalau Chevron dan Eni akan melanjutkan proyek IDD," ucapnya. 

Untuk menarik investasi, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal dan kemudahan agar proyek itu dapat terealisasi. Apabila terus molor, maka kebutuhan dananya akan makin besar. 

Chevron saat ini memiliki 62% saham di IDD, sisanya dikuasai oleh ENI 20% dan Sinopec (asal Tiongkok) 18%. Terdapat lima lapangan gas yang akan dikembangkan dalam proyek ini, yaitu Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha, dan Gandang.

Lapangan Bangka telah berproduksi sejak Agustus 2016 dengan kapasitas terpasang 110 juta kaki kubik gas dan 4 ribu barel per hari. Namun, Chevron memilih tidak melanjutkan IDD tahap kedua.

Keputusan itu sudah santer terdengar pada 2015 ketika harga minyak dunia turun. Harganya semakin memburuk saat ini di tengah pandemi Covid-19 yang menurunkan konsumsi dan permintaan minyak.

Manager Corporate Communication Chevron Pacific Indonesia Sonitha Poernomo mengatakan proyek ini tidak lagi masuk secara hitungan keekonomian. IDD Tahap II tak dapat bersaing dengan portofolio global Chevron untuk mendapatkan pendanaan.

Perusahaan lalu mencari operator penggantinya. "Kami percaya proyek ini akan memiliki nilai untuk operator lain, agar Kutai Basin dapat terus dikembangkan dengan selamat dan bertanggung jawab," kata dia beberapa waktu lalu.

Blok Migas Lepas Pantai Pertamina Hulu Energi
Ilustrasi lapangan migas lepas pantai atau offshore.  (Pertamina Hulu Energi)

ENI Butuh Insentif Untuk Garap IDD

Dampak pandemi Covid-19 membuat ENI mencatat kerugian bersih sepanjang kuartal ketiga 2020 sebesar US$ 7,83 miliar (sekitar Rp 111,3 triliun). Realisasi itu berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun lalu ketika perusahaan meraih untung sebesar US$ 2,03 miliar.

Total pinjaman bersih setelah kewajiban sewa perusahaan naik dari US$ 18,51 miliar menjadi US$ 19,85 miliar. Di sisi lain, belanja modal perusahaan turun dari US$ 5,58 miliar menjadi US$ 3,76 miliar.

Turunnya kinerja ini seiring dengan merosotnya harga minyak mentah dunia. ENI mencatat harga minyak Brent sepanjang kuartal tiga lalu berada di level US$ 40,82 per barel. Pada periode yang sama tahun lalu harganya di US$ 64,66 per barel.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal sebelumnya menyebut kinerja ENI saat ini sangat terpukul. Keputusan perusahaan masuk ke proyek IDD tentu membutuhkan belanja modal dan operasional yang banyak.

Untuk mengukuhkan minat ENI, pemerintah harus menggelontorkan insentif yang signifikan. Misalnya, tax holiday, perubahan bagi hasil alias split, accelerated depreciation, dan harga kewajiban untuk dalam negeri (DMO) yang menarik.

Moshe menyebut, dari segi finansial akan sangat berat, apalagi ENI kemungkinan akan menanggung lebih dari 80% biaya di awal proyek. "Keekonomian lapangan yang perlu ditekankan, IDD ini proyek mahal," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...