PN Pekanbaru Tolak Gugatan Pencemaran Limbah B3 yang Dilakukan Chevron
Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru menolak gugatan yang dilayangkan Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) kepada PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), SKK Migas, Kementerian LHK, serta Dinas LHK Provinsi Riau atas dugaan pencemaran lingkungan dari di 297 lokasi di empat kabupaten/kota di Provinsi Riau.
Putusan ini disahkan oleh majelis hakim pada Rabu, (14/12) kemarin. "Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya," kata Majelis Hakim, dilansir dari laman resmi PN Pekanbaru pada Kamis (15/12).
Selain menolak gugatan yang disampaikan oleh LPPHI sebagai pihak penggugat, Majelis Hakim juga menghukum LPPHI untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.11.055.000.
Menanggapi hasil putusan tersebut, Sekretaris LPPHI Hengki Seprihadi mengatakan pihaknya bakal mengajukan banding sebagai upaya lanjutan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
"Bisa jadi dalam bentuk banding, kami juga sudah siap untuk menempuhnya," kata Hengki saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (15/12).
Lewat nomor perkara 150/Pdt.G/LH/2021/PN Pbr, LPPHI melaporkan para tergugat yang disebut membuang limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) berupa tanah terkontaminasi minyak (TTM) dari Blok Rokan ke area kawasan konservasi Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim hingga ladang dan kebun milik masyarakat sekitar.
Gugatan itu ditujukan untuk menegaskan tanggungan Chevron sebagai pihak pengelola WK Rokan yang belum menuntaskan kewajibannya dalam melakukan pemulihan pada 297 lokasi terdampak pencemaran lingkungan limbah B3.
Adapun gugatan terhadap SKK Migas, KLHK dan Dinas LHK Provinsi Riau lantaran tiga pihak tersebut lalai menjalankan tugas dan fungsi masing-masing sehingga mengakibatkan Chevron tidak memulihkan seluruh pencemaran B3 TTM di WK Rokan.
SKK Migas disebut telah menandatangani kesepakatan berupa head of agreement dengan Chevron yang berisi penugasan kepada PHR untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat pencemaran yang dilakukan oleh Chevron.
Di dalam heads of agreement itu, disepakati bahwa Chevron menyalurkan dana US$ 265 juta yang disetor ke rekening bersama milik Chevron dan SKK Migas.
Namun lebih satu tahun setelah alih kelola, Pertamina Hulu Rokan (PHR) disebut belum mampu melaksanakan penugasan dari SKK Migas untuk memulihkan lebih dari 6 juta metrik ton warisan limbah peninggalan Chevron.
Menanggapi adanya aliran pendanaan ke SKK Migas, Plt. Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Mohammad Kemal, menjelaskan bahwa heads of agreement KKKS WK Rokan ditandatangani dalam rangka menjaga kesinambungan operasi Blok Rokan yang dialih kelolakan dari CPI ke PHR.
Dana tersebut dialokasikan untuk mengatur kegiatan pengeboran dan pengembalian biaya investasi di akhir masa KKKS, serta memastikan adanya pengaturan pencadangan dana Abandonment & Site Restoration (ASR) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ASR merupakan kegiatan untuk menghentikan pengoperasian Fasilitas Produksi dan sarana penunjang lainnya secara permanen dan menghilangkan kemampuannya untuk dapat dioperasikan kembali, serta melakukan pemulihan lingkungan di wilayah kegiatan usaha hulu migas.
"Oleh karena itu tentunya heads of agreement berisi komitmen mengenai besaran-besaran dana sehubungan dengan hal-hal tersebut sebagai konsekuensi berakhirnya kontrak bagi hasil PSC antara SKK Migas dengan CPI," kata Kemal lewat pesan singkat pada Kamis (15/12).
Sebelumnya diberitakan, LPPHI menilai dalam masa transisi alih kelola Blok Rokan, PHR telah melaksanakan due diligence atau uji tuntas terhadap kewajiban yang harus mereka tanggung sebagai pengelola Blok Rokan berikutnya.
Dari hasil uji tuntas tersebut, didapati bahwa angka kewajiban pemulihan fungsi lingkungan hidup berada di besaran US$ 1,4 miliar. Temuan angka ini lebih besar dari dana yang disalurkan oleh Chevron sejumlah US$ 265 juta.
"Itu yang menjadi tanda tanya bagi kami. Jika artinya head of agreement itu yang sekarang menjadi acuan, patut kita duga bahwasannya sisa dari selisih antara US$ 1,4 miliar dikurangi dengan US$ 265 juta yang disetorkan oleh Chevron akan ditanggung oleh negara," kata Hengki saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (14/12).
"Sementara di dalam UU 32 menyebutkan, siapa yang melakukan pencemaran dia yang melakukan pemulihan. Dalam hal ini Chevron."
Hengki mengatakan tindakan yang dilakukan oleh para tergugat merupakan perbuatan melawan hukum, khususnya pada Pasal 54-55 Undang-Undang (UU) 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Secara garis besar, pasal tersebut menyatakan bahwa siapa yang melakukan pencemaran, maka dia yang waijb melakukan pemulihan. Dalam kasus ini, ujar Hengki, Chevron menjadi pihak yang harus menyelesaikan perkara pencemaran lingkungan B3 tersebut.
lebih lanjut, Hengki menyebut pencemaran limbah itu terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak, dan Kota Pekanbaru. Chevron dinilai abai dalam melaksanakan tanggung jawab pemulihan lingkungan dari aktivitas pengelolaan Blok Rokan sebelum alihkelola ke Pertamina pada 9 Agustus 2021.
"Menjelang peralihan pengelolan Blok Rokan dari Chevron ke PHR (Pertamina Hulu Rokan), masih ada 297 lokasi pencemaran yang belum dipulihkan oleh Chevron," ujarnya.
Selain itu, kata Hengki, KLHK juga tak kunjung merilis hasil audit lingkungan terhadap Blok Rokan saat periode masa transisi pengelolaan dari Chevron ke PHR. Hal tersebut juga dirasa melanggar ketentuan dalam Pasal 50 UU 32 tahun 2009.
"Audit lingkungan itulah yang sebenarnya akan menetukan kerugian-kerugian dan kewajiban apa saja yang belum dilaksanakan dan apa harus dilaksanakan," kata Hengki.