Permainkan Harga, Tengkulak Musuh Petani Sawit Riau
Pada hari-hari panen, mulai dari pukul 08.00 hingga 11.00, biasanya Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit sudah bertumpuk-tumpuk di sepanjang pinggir jalan perkebunan. Dengan gerobak sorong, tandan sawit itu dibawa dari perkebunan oleh para petani. Tak berapa lama, kaki tangan tengkulak akan menghampiri para petani sawit. Mereka segera menimbang dan tanpa tawar-menawar lagi, lembaran puluhan ribu rupiah berpindah tangan.
Harga TBS sudah ditentukan oleh tengkulak. Petani sawit tinggal menerima uang penjualan yang disodorkan para tengkulak tanpa bisa menawar atau pasang harga. Masalahnya ada pada kesulitan petani yang tidak bisa menjual langsung ke pabrik pengolahan kelapa sawit secara langsung. Dalih pabrik, produk TBS milik petani tidak memenuhi standar. Alhasil, petani tak punya pilihan. Menjual ke tengkulak menjadi pilihan satu-satunya.
“Kalau dari pabrik harganya Rp 1.100, ya kami bayar ke petani Rp 1.000. Kalau dari pabrik Rp 900, kami bayar ke petani Rp 800,” kata Rian, salah satu kaki tangan tengkulak berkilah.
Betapa besar pengaruh para tengkulak dalam rantai perdagangan tergambarkan dalam survei pada 2017 oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) terhadap 10 ribu petani sawit rakyat di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Hasil survei tersebut menyebutkan bahwa 73 persen petani menjual TBS ke tengkulak. Sedangkan harga jual tandan buah di tengkulak sulit diprediksi karena mengikuti ketetapan pabrik pengolahan sawit.
Juhar Rahmat, petani sawit rakyat dari Desa Segati, Pelalawan menceritakan sulitnya menjadi petani sawit rakyat yang ‘dipaksa’ menjual TBS-nya ke tengkulak. Sepanjang Mei hingga Juli 2019 lalu adalah bulan yang mencekik petani sawit. Harga TBS jatuh sampai di angka Rp 600 per kilogram. Rata-rata hasil sekali panen petani rakyat hanya 1 ton tandan buah per hektare. “Dengan harga Rp 600 per kilogram, kami hanya mendapatkan uang panen Rp 600 ribu. Belum dipotong upah yang manen. Paling kami hanya dapat Rp 200 ribu. Apa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga?” kata Juhar.
Hal serupa dirasakan oleh Riwanto, salah satu petani rakyat di Desa Tuah, Indrapura. Pada masa panen, harga TBS hanya Rp 400 per kilogram. Menurutnya, selama tiga bulan tersebut tetangganya bahkan ada yang sengaja tidak memanen sawitnya, dibiarkan saja jatuh dan membusuk, atau diambil orang lain. Sebab, harga jual sawit dengan upah pemanen tidak seimbang. “Tidak ada untungnya….Saya belum pernah melihat pemerintah turun tangan mengatasi masalah harga buah sawit. Dari dulu dibiarkan terus seperti itu,” ucap Riwanto
Ketidakpastian harga TBS petani sawit rakyat diaminkan oleh Anton, seorang petani sawit Desa Tuah Indrapura, Siak. “Petani kita adalah petani mandiri. Benih, pupuk, dan modal lainnya dari kami sendiri. Setidaknya, pemerintah mesti mendukung kami dengan harga TBS yang stabil,” kata Anton.
Sebetulnya, pemerintah telah mengatur pedoman harga pembelian TBS melalui Peraturan Menteri Pertanian No 14 Tahun 2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tanda Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Aturan itu kemudian diperbarui menjadi Permentan No 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tanda Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Namun implementasi peraturan ini di lapangan masih menjadi pertanyaan.
Di satu sisi, syarat utama petani bisa mendapatkan harga TBS standar pemerintah adalah dengan membentuk kelembagaan petani. Namun, menurut hasil survei SPKS, 71 persen petani belum bergabung dalam kelembagaan petani. Padahal, Permentan tersebut mengamanatkan bupati/wali kota atau gubernur memfasilitasi terbentuknya kelembagaan pekebun swadaya yang memiliki satu hamparan areal kelapa sawit. Sayangnya, belum banyak pemerintah daerah melaksanakan aturan tersebut.
Riau adalah provinsi dengan perkebunan sawit terluas di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan 2017, sebesar 17 persen atau setara dengan 2,4 juta hektare lahan sawit nasional berada di Provinsi Riau.
Luas perkebunan sawit rakyat pada tahun 2017 mencapai 5,7 juta hektare atau setara 41 persen dari total perkebunan sawit nasional. Khusus perkebunan kelapa sawit rakyat di Riau, luasnya 1,5 juta hektare atau 27 persen dari total perkebunan sawit rakyat nasional. Dengan porsi lahan perkebunan sawit rakyat yang begitu besar, pemerintah semestinya menerbitkan regulasi untuk menjamin kesejahteraan petani sawit rakyat.
Maka, adanya Inpres No 8 tahun 2018 tentang Moratorium Sawit, diharapkan mampu menjawab masalah yang dihadapi petani. Salah satunya soal harga pembelian buah segar demi meningkatkan kehidupan petani sawit. Karena amanat dari moratorium sawit adalah memperbaiki tata kelola sawit, meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani sawit rakyat.
Meski demikian, hingga satu tahun setelah inpres diberlakukan, para petani sawit rakyat di Riau belum merasakan adanya perubahan dan peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan sisa waktu dua tahun, pemerintah seharusnya mulai memetakan strategi supaya tujuan inpres bisa tercapai.
Pekerjaan rumah pemerintah untuk mensejahterakan petani sawit rakyat dimulai dari pendampingan berkebun. Penyediaan bibit bersertifikat, pupuk berkualitas, bantuan modal peremajaan sawit dan stabilisasi harga tandan buah segar juga diharapkan oleh petani sawit. Tidak lupa, hak mendasar petani lainnya yakni sertifikat lahan yang menjadi tugas besar pemerintah bagi para petani sawit rakyat.