Pro-Kontra Pengusaha AS di Balik Pemberian Fasilitas Bea Masuk Impor

Michael Reily
31 Agustus 2018, 16:09
Pelabuhan Ekspor
Katadata

IWPA merepresentasikan 200 perusahaan dan asosiasi perdagangan yang berhubungan dengan kayu dari hutan yang tingkat keberlanjutannya tinggi. O’Donnell menekankan mayoritas perusahaan adalah perusahaan kecil dan menengah serta kepemilikannya keluarga. Penghapusan GSP juga akan mengembalikan bea impor sebesar 8% sehingga tingkat kompetitif perusahaan kayu bakal berkurang.

Meski pemberian fasiliatas GSP untuk Indonesia menuai banyak dukungan, namun tak sedikit pula yang menolaknya. 

Penolakan itu antara lain datang dari Vice President National Milk Producers Federation and the US Dairy Export Council, Shawna Morris, yang menyebutkan Indonesia memberikan hambatan untuk perdagangan produk susu dari Amerika. Terlebih AS saat ini merupakan salah satu eksportir susu terbesar untuk Indonesia dengan nilai ekspor pada 2017 lalu sebesar US$ 133 juta.

(Baca : Jokowi Rapatkan Kabinetnya Antisipasi Ancaman Perang Dagang Trump)

Morris pun merekomendasikan pencabutan program GSP untuk Indonesia lantaran pihaknya kecewa dengan kebijakan perdagangan dalam negeri terkait ekspor susu.

"Kami sangat menyayangkan kebijakan konten local untuk susu mengakibatkan impor dari berbagai sumber kesulitan, termasuk kami,” kata Morris.

Sebagaimana yang diketahui, pemerintah sebelumnya memiliki aturan terkait wajib kemitraan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian pada Juli 2017. Pebisnis yang melakukan impor sebelumnya diwajibkan bekerja sama dengan peternak lokal untuk membangun industri nasional. Sehingga beberapa pengusaha AS pun terpaksa  membangun kemitraan untuk mendapatkan akses pasar di Indonesia. Namun demikian, kebijakan terkait penyediaan susu pada perkembangan terakhirnya direvisi menjadi Permentan Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu Segar Dalam Negeri

Selain keberatan dari pengusaha susu,  protes juga datang dari pengusaha digital AS. Director of Communications, The App Association, Roya Stephens mengungkapkan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 82 Tahun 2012 memberatkan para pelaku usaha digital di AS. Sebab, regulasi itu mengharuskan pembangunan pusat data dan pusat pengembalian data sehingga secara tidak langsung perusahaan mesti membuat kantor fisik, di Indonesia.

Selain itu regulasi pembayaran elektronik dan penyimpanan data finansial menjadi beban bagi pelaku usaha. Stephens mengklaim asosiasinya merepresentasikan lebih dari 5.000 pengembang bisnis aplikasi kecil yang nilainya bisa mencapai US$ 950 miliar. “Pelaku usaha besar punya kemampuan untuk menyerap ongkos produski dan jasa, tetapi pelaku usaha kecil terhambat,” ujar Stephens.

Kemudian, Peraturan Menteri Keuangan yang memberikan bea masuk terhadap barang tidak tampak seperti aplikasi dan produk digital menjadi salah satu hambatan. Meski tarifnya masih nol, namun pengembang aplikasi di AS menggunakan internet sebagai media untuk menjangkau 95% pengguna di seluruh dunia. Stephen meminta supaya Indonesia bisa menemukan solusi atas hambatan akses pasar di AS untuk mendapatkan GSP.

Terakhir pun datang dari  Chief International Officer with the American Council of Life Insurers, Brad Smith menyebutkan perusahaan asuransi AS di Indonesia terpaksa melakukan divestasi dengan aturan kepemilikan saham asing sebesar 80%. Sebanyak 20 perusahaan AS pun ikut dalam aturan itu, namun perusahaan AS justru melihatnya sebagai hambatan investasi di Indonesia.

Dan Anthony dari GSP Action Committee menyatakan GSP menghemat biaya impor perusahaan AS sebesar US$ 80 juta pada tahun lalu. Angka itu meningkat  22% dibandingkan 2016. Targetnya, penghematan impor  tahun ini bisa kembali naik sekitar 26% atau senilai US$ 199 juta.

Pemerintah Indonesia pun telah memberikan jawaban kepada United State of Trade Representative (USTR) melalui dokumen yang dipublikasikan pada 20 Juli 2018. Indonesia telah menjawab 7 permasalahan yang menyebabkan AS mereview pemberian fasilitas GSP  Indonesia.

Sebanyak tujuh poin yang menjadi sorotan AS terkait pemberian fasilitas tersebut antara lain mengenai perdagangan produk susu, kacang kedelai, lokalisasi data, bea masuk untuk barang digital, permasalahan perusahaan asuransi, pemenuhan konten lokal, serta National Payment Gateway (NPG).

Penghematan Impor oleh AS

SektorNilai Impor – 2017(US%)Penghematan (US$)Pengenaan Tarif Rata-Rata
Otomotif348 juta13,1 juta3,8%
Perhiasan195,9 juta10,5 juta5,4%
Barang Rumah Tangga171 juta8,2 juta4,8%
Peralatan Rekreasional146,9 juta7,6 juta5,2%
Kimia (Obat dan Zat)215,2 juta7,5 juta3,5%
Lainnya869,9 juta35 juta4,0%
Jumlah1,94 miliar82 juta4,2%

Sumber: The Trade Partnership from U.S. Census Bureau data; sectors reported by 3-digit end use codes

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...