Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan

Rizky Alika
10 Juli 2018, 10:35
Kelapa Sawit
ANTARA FOTO/Rahmad
Pekerja merontokkan buah kelapa sawit dari tandannya di Desa Sido Mulyo, Aceh Utara, Aceh, Kamis (26/10). Para pekerja manyoritas kaum perempuan mengaku, dalam sehari mereka mampu memisahkan dan merontokkan biji kelapa sawit sebanyak 250 kilogram dengan upah Rp200 per kilogram atau menerima upah Rp.50 ribu perhari.

Sementara di sisi lain industri dalam negeri, Bhima juga mengkhawatirkan perang dagang akan mengakibatkan permintaan dari negara mitra dagang turun dan berimbas terhadap efisiensi besar-besaran pada perusahaan dalam negeri dan berakhir pada ancaman pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu, ia meminta pemrintah mulai mendata perusahaan yang terimbas perang dagang.

Sebagaia langkah antisipasi,  menurutnya pemerintah mesti terus didorong  untuk menggiatkan ekspor ke pasar non tradisional. Sehingga, Kkalau pasar Amerika dan Tiongkok terganggu, pemerintah dapat mengirimkan produk ekspor ke negara lain yang masih potensial.

 Selain itu, aktivitas misi perdagangan juga perlu ditingkatkan melalui peran duta besar dan atase perdagangan. "Misalnya ditarget duta besar harus bisa naikan ekspor di negara penempatan minimum 10% per tahun, ada kontraknya kalau gagal ya ditarik pulang ke indonesia," ujar dia.

Sementara dari sisi impor, pemerintah bisa mengendalikan dan mengawasi impor barang dari Tiongkok. Sebab, Tiongkok saat ini beresiko mengalihkan kelebihan output produksi ke Indonesia karena pasarnya besar.

(Baca juga: RI Bentuk Kelompok Kerja Antisipasi Perang Dagang AS dan Tiongkok)


Pendapat berbeda mengenai dampak perang dagang  dituturkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah. Menurutnya, perang dagang AS-Tiongkok ke Indonesia bisa memberi dampak terbesar pada penurunan ekspor yang juga disertai dengan pelemahan nilai tukar.

Perang dagang berpotensi menurunkan permintaan global terhadap barang ekspor Indonesia sehingga produksi akan turun.

Di sisi lain, dengan rupiah yang  terus tertekan, juga berpotensi menimbulkan permasalahan di sektor perbankan dan keuangan. Meski demikian,  dampak perang dagang menurutnya tak akan sebesar saat krisis ekonomi 1997-1998. 

Selain dampak buruk, Piter juga menilai perang dagang  bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk membenahi struktur perekonomian dengan mengurangi ketergantungan impor. "Ditengah menurunnya permintaan global sudah waktunya juga kita untuk memperkuat permintaan domestik," ujar dia.

Menurutnya, ditengah sulitnya mendorong ekspor di tengah penurunan permintaan global, pemerintah sebaiknya memperkuat permintaan domestik agar produksi tidak jatuh.

Terlebih jika ada tambahan pemanis seperti melalui kebijakan pelonggaran likuiditas dari Bank Indonesia. Sebab menurutnya, pemerintah juga harus menciptakan stimulus fiskal guna  mendorong peningkatan daya beli masyarakat.

Namun demikian, secara keseluruhan dia menilai Indonesia belum terkena dampak langsung karena belum termasuk dalam negara global value chain. Negara yang paling terkena dampak negatif ialah negara produsen utama dan negara kategori global value chain seperti Singapura dan Malaysia.

Halaman:
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...