Kemendag Soal Gugatan Nikel di WTO: Keputusan Akhir Masih Lama
Kementerian Perdagangan atau Kemendag buka suara soal gugatan Uni Eropa kepada Indonesia mengenai larangan ekspor bijih nikel di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Apapun keputusan WTO soal gugatan tersebut diperkirakan akan berdampak dalam waktu lama ke industri Indonesia yaitu sekitar satu atau dua tahun.
Direktur Jenderal Perundingan Perjanjian Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono, mengatakan bahwa gugatan tersebut masih berproses di panel sengketa. Dirinya juga belum bisa memastikan kapan hasil akhir gugatan tersebut bisa keluar.
"Masih berproses di panel sengketa, jadi masih rahasia. Still long way to go," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (12/9).
Dia mengatakan, Kemendag mempersiapkan tim untuk melawan gugatan tersebut. Tim hukum tersebut termasuk sejumlah pengacara asing.
"Ada beberapa orang pengacara international di tim kuasa hukum," ujarnya.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Kasan, mengatakan implikasi hasil kebijakan WTO terhadap industri masih sangat panjang.
"Misalnya kita menderita kekalahan pun, saya kira waktunya mash panjang karena proses sekarang belum sampai pada akhir keputusan. Saya kira masih perlu waktu sampai dua tahun," ujarnya, Jumat (9/9).
Selain itu, dia menegaskan jika pembukaan ekspor bijih nikel belum tentu akan menghentikan industri. Kasan mengatakan, yang terpenting bagi Indonesia adalah saat ini sudah memiliki ekosistem industri nikel. Termasuk diantaranya memiliki industri hilir dari bahan baku tersebut.
Menurut Kasan, larangan ekspor nikel mentah Indonesia sudah berdampak positif pada neraca perdagangan. Misalnya saja perdagangan dengan Cina yang defisitnya semakin mengecil kemudian menjadi surplus sejak adanya larangan ekspor bijih nikel.
"Sekarang angka suprlus perdagangan dengan Cina US$ 7 miliar, dari rata-rata sebelumnya pada 2008 hingga 2018 yang defisitnya bisa double digit," ujarnya.
Gugatan uni Eropa berawal ketika pemerintah Indonesia menerbitkan kebijakan larangan ekspor bijih mentah nikel. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019. Larangan ekspor bijih mentah nikel mulai berlaku 1 Januari 2020, tujuannya demi meningkatkan industri hilir nikel.
Uni Eropa memprotes kebijakan Indonesia tersebut pada November 2019. Mereka mengklaim peraturan tersebut tidak sesuai dengan kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) 1994.
Di samping itu, Uni Eropa menuduh pemerintah Indonesia telah memberikan subsidi yang tidak sesuai kepada industri nikel di dalam negeri. Saat ini, ada 15 negara yang mengklaim hak pihak ketiga dalam gugatan tersebut, yakni Brasil, Kanada, Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Rusia, Arab Saudi, Singapura, Taiwan, Turkiye, Ukraina, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat.
Pihak ketiga dalam sebuah gugatan biasanya entitas yang memiliki kepentingan substantif dalam gugatan yang sedang berlangsung atau terdampak dari hasil gugatan tersebut. Negara yang mengklaim pihak ketiga dapat memberikan opini terhadap gugatan tersebut tanpa harus bertanggung jawab terhadap dampaknya.
International Energy Agency (IEA) memperkirakan nilai penjualan sumber daya nikel dari kawasan Asia Tenggara pada 2020 baru mencapai US$15,2 miliar. Kemudian pada 2030 nilainya diproyeksikan naik dua kali lipat lebih menjadi US$36,6 miliar, dan meningkat lagi jadi US$40,8 miliar pada 2050.