Dampak Tangani Corona dengan Status Darurat Sipil terhadap Demokrasi

Image title
31 Maret 2020, 20:38
Anggota Polri mengenakan masker saat bertugas di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Selasa (31/3/2020). Berdasarkan data Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto hingga Selasa (31/3) sore, jumlah kasus positif COVID-19
ANTARA FOTO/Anindira Kintara/Lmo/nz
Anggota Polri mengenakan masker saat bertugas di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Selasa (31/3/2020). Berdasarkan data Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto hingga Selasa (31/3) sore, jumlah kasus positif COVID-19 terus bertambah mencapai 1.528 orang yang tersebar di 32 provinsi dengan jumlah sembuh 81 orang dan meninggal dunia 136 orang.

Lagi pula, menurut Adi, darurat sipil hanya cocok dilakukan dalam kondisi kekacauan yang besar. Saat ini kondisi itu menurutnya tak terjadi. Masyarakat justru mengambil inisiatif pribadi untuk menjaga diri dan tetap tenang di saat pemerintah terlalu lama menetapkan kebijakan penanggulangan Corona.

“Darurat sipil malah menciptakan ketakutan dan bisa berujung kekacauan. Ini bahaya,” kata Adi. “Kalau hanya ingin menertibkan warga agar tidak keluar rumah, karantina wilayah sudah cukup,” imbuhnya.

Pasal 54 ayat (4) Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan menyatakan wilayah yang dikarantina diberi garis batas dengan dijaga petugas kesehatan dan polisi.

Saat kekacauan terjadi, indikator selain kebebasan sipil akan terdampak. Seperti budaya politik dan fungsi pemerintahan. Masyarakat akan beralih dari berpolitik sesuai koridor hukum ke jalanan, serta fungsi pemerintahan akan menjadi separuh demokratis dan separuh otoritarian.

Pendapat Adi sesuai dengan penelitian The United States Institute of Peace bahwa negara dengan pemerintahan campur antara demokratis dan otoritarian akan menyebabkan indeks demokrasinya anjlok menjadi cacat demokrasi (flawed democracy).  

(Baca: Gagal di Inggris dan Belanda dalam Hadapi Corona, Apa Itu Herd Immunity?)

Indeks Demokrasi Indonesia Masih Cacat

The Economist Intelligence Unit dalam penelitiannya yang dirilis awal tahun ini menyatakan indeks demokrasi Indonesia pada 2019 sebesar 6,48 poin atau naik dari 6,39 poin pada tahun sebelumnya. Namun demokrasi Indonesia masih tergolong cacat. Alasannya terdapat usulan untuk meniadakan pemilihan langsung yang berpeluang mengembalikan sistem pemilihan seperti sebelum 2004, yakni diwakili Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dari lima indikator indeks demokrasi di Indonesia, kebebasan sipil mendapat nilai paling rendah sebesar 5,59 dari skala 10. Angka ini jauh dari Timor Leste yang mencetak skor 7,65 untuk kebebasan sipil. Budaya politik juga memperoleh nilai rendah sebesar 5,63.

Data selengkapnya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

“Pandemi corona ini memang berat, sebaiknya pemerintah tak membuat kebijakan yang bisa menambah beban itu. Karantina wilayah atau pembatasan sosial berskala besar saya piker cukup,” kata Adi.  

 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...