Alasan-alasan Mengapa Pemimpin Daerah Sering Menolak Kajian Ilmiah

Image title
Oleh Tim Publikasi Katadata - Tim Publikasi Katadata
1 Agustus 2019, 14:11
Chief Executive Officer, Metta Dharmasaputra (kiri) , Teguh Dartanto selaku Head of Departement of Economics FEB UI, Tri Rismaharini selaku Walikota Surabaya, dan moderator Desi Dwi Jayanti dalam acara Knowledge sector Intiative Katadata forum dengan tem
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Chief Executive Officer, Metta Dharmasaputra (kiri) , Teguh Dartanto selaku Head of Departement of Economics FEB UI, Tri Rismaharini selaku Walikota Surabaya, dan moderator Desi Dwi Jayanti dalam acara Knowledge sector Intiative Katadata forum dengan tema \"Mencari model Pengelolaan Dana dan Pengorganisasian Riset untuk Indonesia\" di The Energy Building, Jakarta Pusat (31/7). \

“Proses-proses ini yang dunia akademis tidak sabar. Maunya cepat tapi tidak mau mengawal para pembuat kebijakan itu berproses membuat sebuah kajian menjadi kebijakan. Para pembuat kebijakan itu biasanya membutuhkan penelitian atau kajian yang kredibel, relevan, dan yang implementasinya tidak mahal,” kata Teguh.  

Selain itu, Teguh mengakui, dunia akademis itu selalu berpikir yang ideal, sehingga tidak ada ruanguntuk  negosiasi atau kolaborasi. Padahal, dalam konteks kebijakan publik, dunia akademis tidak bisa sendiri, harus mengawal proses-proses tersebut.

Seperti diketahui, untuk membuat Surabaya menjadi cantik seperti sekarang, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tidak memberikan anggaran khusus untuk riset dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Cukup hanya dengan dana operasional lewat dinas-dinas, apa yang diinginkannya bisa terlaksana. Misalnya, Risma ingin mengurangi polusi di kotanya. Dia akan melihat-lihat penelitian yang sudah dilakukan oleh perguruan tinggi tanaman apa yang sebaiknya ditanam di taman-taman dan dia tidak akan malu bertanya berkali-kali jika belum menemukan solusinya.

Pemerintah kota, kata Risma, telah bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada di kota itu untuk menjadikan Surabaya sebagai kota yang ramah lingkungan.

Sementara itu, Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho mengatakan Indonesia perlu merumuskan visi nasional untuk menyatukan upaya di bidang riset dan inovasi, khususnya tata kelola untuk mengoordinasikan kelembagaan, kebijakan, dan regulasi secara efektif.

Menurut Yanuar, Indonesia belum memiliki ekosistem yang sehat. Hasil dari ekosistem riset yang sehat akan terlihat dari saat suatu negara menjadi tujuan pelajar dan akademisi terbaik untuk belajar maupun bekerja di universitas atau Lembaga riset di negara tersebut. Selain itu, ketika perusahaan lokal maupun global bersedia melakukan investasi jangka panjang di sektor pengetahuan.

Dia menambahkan prinsip-prinsip membangun ekosistem antara lain adalah shared-vision, karena riset adalah investasi yang perlu, mendesak, dan penting. “Regulasi harus dibuat sefleksibel dan sesederhana mungkin, tidak menakut-nakuti. Tata arstektur atau kelembagaan yang memiliki strategi dan koordinasi,” kata Yanuar.

Selain itu, pendanaan riset juga harus fleksibel, khususnya dana perwalian dan dana abadi serta mendorong keterlibatan non-pemerintah seluas-luasnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...