Jejak Sengketa Pilkada di MK: Diskualifikasi Calon hingga Pemilu Ulang

Dwi Hadya Jayani
18 Juni 2019, 15:41
Suasana sidang pendahuluan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019 yang diajukan pasangan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat (14/6). 
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Suasana sidang pendahuluan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019 yang diajukan pasangan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat (14/6). 

Pilkada tersebut dimenangkan oleh paslon Dirwan Mahmud-Hartawan dengan perolehan suara sebesar 39 ribu. Hasil ini digugat oleh pasangan Reskan-Rohidin yang memiliki suara kedua tertinggi setelah Dirwan-Hartawan, yaitu sebesar 22 ribu suara. Reskan-Rohidin meminta Dirwan didiskualifikasi karena dinilai tidak memenuhi syarat sebagai calon bupati. Dirwan pernah menyandang status pidana lebih dari lima tahun dengan delik pembunuhan.

MK pun mengabulkan permohonan tersebut dengan mendiskualifikasi pasangan Dirwan-Hartawan. MK menilai pasangan Dirwan-Hartawan melakukan kebohongan publik tentang persyaratan calon kepala daerah karena telah menjalani vonis atas tindakan pidana yang diancam lima tahun penjara. Oleh karena itu, bupati terpilih dibatalkan karena tidak memenuhi syarat.

Selain itu, MK juga memerintahkan KPU untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang yang melibatkan delapan calon lainnya. Meskipun pernah didiskualifikasi karena pernah tersangkut tindak pidana, Dirwan berkesempatan menjadi Bupati Bengkulu Selatan dengan berpasangan dengan Gusnan Mulyani pada Pilkada 2015.

Hal ini dikarenakan telah dihapusnya persyaratan pidana di UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Hal serupa juga terjadi di Pilkada Tebing Tinggi pada 2010 yang mendiskualifikasi Syafri Chap karena pernah dijatuhi hukuman pidana.

(Baca: Sidang MK, KPU Klaim Tak Berpihak dalam Pilpres 2019)

Politisasi ASN oleh Calon Petahana

Jika berkaca pada gugatan Tim Hukum BPN yang menuding capres petahana Jokowi mengerahkan Aparatur Sipil Negara (ASN), MK pernah menangani perkara yang sama. Hal ini masuk ke dalam politisasi birokrasi yang biasanya dilakukan oleh calon petahana yang memiliki kekuasan dan pengaruh untuk menggerakan birokrasi pemerintahan.

Salah satu kasus dari politisasi birokrasi terjadi dalam Pilkada Kabupaten Konawe Selatan 2010. Pilkada ini diikuti oleh empat paslon, yaitu Rustam Tamburaka-Bambang Setiyobudi, Imran-Sutoardjo Pondiu, Surunuddin Dangga-Muchtar Silondae, dan Ashar-Yan Sulaeman.

Pemenang dalam pilkada ini diraih oleh paslon nomor urut 02, Imran-Sutoardjo dengan perolehan suara sebesar 63 ribu atau 43,91%. Paslon 03 Surunuddin-Muchtar pun menggugat hasil rekapitulasi suara ini ke MK karena Imran-Sutuardjo sebagai petahana memanfaatkan kekuasaannya untuk memobilisasi ketua RT, kepala dusun, Panitia Pemilihan Lapangan (PPL), kepala kelurahan, ketua KPPS, hingga Panwaslu.

Kepala kelurahan, ketua KPPS, dan Panwaslu mendistribusikan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) gratis kepada pemilih. Selain itu, paslon petahana nomor urut 02 juga memanfaatkan PPL, ketua RT, dan kepala dusun untuk membagikan raskin dan KTP gratis. Tidak hanya itu, pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dilakukan dengan melibatkan kepala desa, sekretaris desa, kepala dusun, imam desa, dan sekretaris kecamatan.

Keterlibatan alat kelengkapan pemerintahan ini membuat MK membatalkan ketetapan KPU yang menyatakan paslon nomor urut 02, Imran-Sutoardjo sebagai bupati dan wakil bupati terpilih. Selain itu, MK juga memerintahkan kepada KPU untuk melakukan pemungutan suara ulang di seluruh TPS se-Kabupaten Konawe Selatan.

(Baca: Kuasa Hukum Jokowi Bantah Dalil Prabowo Soal Ketidaknetralan Aparat)

Halaman:
Reporter: Dwi Hadya Jayani
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...