MA Batalkan Privatisasi Air Jakarta, Pengusaha Tunggu Langkah Pemprov

Yuliawati
Oleh Yuliawati
11 Oktober 2017, 15:58
Kekeringan
ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Ilustrasi kesulitan mendapatkan air.

"Menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta dalam wujud Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui dengan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini," bunyi putusan yang dikeluarkan sejak April 2017, namun diunggah ke situs MA pada Selasa (10/10).

Hakim kasasi yang dipimpin Nurul Elmiyah memerintahkan agar pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta disesuaikan dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992. Perda ini memberikan kewenangan kepada PAM Jaya untuk menyediakan dan mendistribusi air minum kepada masyarakat.

Peneliti persoalan air dari Amrtya Institute, Nila Ardhianie, mengatakan keputusan MA bakal menguntungkan Pemprov Jakarta dan Pemerintah Pusat. Alasannya akan membuat pemerintah terhindar dari pembayaran defisit yang sangat besar akibat perbedaan imbalan dan tarif air yang terus berlangsung sejak kontrak pertama kali berjalan.  Nila menghitung kerugian keuangan PAM Jaya mencapai Rp 18,2 triliun pada akhir kontrak 2022.

Nila mengatakan sebaiknya semua pihak mendukung keputusan ini. "Masyarakat yang memenangkan gugatan masih harus terus aktif memastikan bahwa putusan ini dapat dieksekusi karena pengelolaan oleh pemerintah bagaimanapun menjamin tarif yang lebih rendah," kata Nila.

Gugatan terhadap privatisasi air bermula pada November 2012. Ke-12 orang ini mewakili beberapa organisasi masyarakat sipil–termasuk Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Urban Poor Consortium maupun Walhi Jakarta. LBH Jakarta sebagai kuasa hukum para penggugat.

Setelah melalui dua tahun persidangan, pada Maret 2015, pengadilan memenangkan gugatan dan membatalkan perjanjian kerjasama PAM Jaya dengan kedua perusahaan. Pengadilan berpendapat kontrak melanggar hak asasi manusia dan tak dilakukan dengan tender. Keputusan ini kemudian dibawa ke tingkat banding.

Pada Januari 2016, pengadilan tinggi membatalkan keputusan pengadilan negeri dengan argumentasi bahwa gugatan bukan termasuk kategori citizen law suit. LBH Jakarta kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada Maret 2016. Keputusan terakhir di MA kembali memenangkan gugatan warga Jakarta. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...