Upaya Pemulihan Ekonomi Nasional dan Beragam Kendalanya

Image title
21 Juli 2020, 19:09
ilustrasi. Pemerintah telah membuat program pemulihan ekonomi nasional, tapi beragam kendala mengiringinya.
ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/aww.
ilustrasi. Pemerintah telah membuat program pemulihan ekonomi nasional, tapi beragam kendala mengiringinya.

Dalam memberikan subsidi bunga kredit, Menkeu Sri Mulyani menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65 Tahun 2020 yang mengatur teknis pelaksanaannya. Namun, pada 8 Juli lalu ia merevisi teknis pelaksanaannya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomo 85 Tahun 2020.

Beberapa teknis yang berubah dalam beleid baru tersebut adalah penyaluran tak lagi melalui rekening virtual, kriteria kesediaan penyalur dihapus, waktu pelaksanaan pemberian subsidi dipertegas, penetapan pejabat kuasa pengguna anggaran (KPA), dan mempertajam peran BPKP dan Kejaksaan.

Namun, beleid baru tersebut tak mengubah besaran subsidi bunga kredit yang diberikan. Rinciannya sebagai berikut:

Jenis DebiturPlafonSubsidi
Perbankan dan Perusahaan PembiayaanPlafon sampai Rp 500 jutaSubsisdi bunga 6% untuk 3 bulan pertama dan 3% untuk 3 bulan kedua.
 Plafon >Rp 500 juta-Rp 10 miliarSubsidi bunga diberikan 3% untuk 3 bulan pertama dan 2% untuk 3 bulan kedua
Penyalur Kredit Program PemerintahPlafon sampai Rp 10 jutaSubsidi sebesar beban bunga, paling tinggi 25%
 Plafon >Rp 10 juta-Rp 500 jutaSubsidi bunga 6% untuk 3 bulan pertama dan 3% untuk bulan kedua
 Plafon >Rp 500 juta-Rp 10 miliarSubsidi bunga 3% untuk 3 bulan pertama dan 2% untuk 3 bulan kedua.
 Sumber: PMK 65 tahun 2020

Stimulus Dunia Usaha

Stimulus untuk korporasi atau dunia usaha yang diberikan pemerintah yakni: insentif PPh 21 sebesar Rp 39,66 triliun; pembebasan PPh 22 impor sebesar Rp 14,75 triliun; pengurangan angsuran PPh 25 sebesar Rp 14,4 triliun; pengembalian pendahuluan PPN sebesar Rp 5,8 triliun; penurunan tarif PPh badan Rp 20 triliun, dan stimulus lainnya Rp 26 triliun. Total anggarannya sebesar Rp 120,61 triliun.

Teknis pemberian seluruh stimulus tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44 Tahun 2020, dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah berubah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Dalam seluruh peraturan tersebut dikatakan, penerima insentif ini adalah kelompok lapangan usaha (KLU) sektor manufaktur, kepada wajib pajak kemudahan impor tujuan ekspor (WP KITE), dan WP Kawasan Berikat.

Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita pada 5 Juni lalu menyatakan, salah satu kriteria sektor usaha yang dapat menerima stimulus ini adalah menampung banyak tenaga kerja. Ia menyebut sektor padat karya. Pemerintah pun dalam program PEN menempatkan dana restrukturisasi padat karya sebesar Rp 3,24 triliun.

Stimulus BUMN

Kepada BUMN, pemerintah memberikan stimulus berupa PMN dan pinjaman. Total PMN yang dianggarkan sebesar Rp 20,50 trilun yang diberikan kepada PT Hutama Karya (Rp 7,5 triliun), PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (RP 6 triliun), Permodalan Nasional Madani (Rp 1,5 triliun), PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Rp 0,5 triliun), dan PT Perusahaan Pengelola Aset (Rp 5 triliun).

Total anggaran pinjaman yang diberikan sebesar Rp 29,65 triliun kepada PT Garuda Indonesia (Rp 8,5 triliun), PT KAI (RP 3,5 triliun), PTPN (Rp 4 triliun), Krakatau Steel (Rp 3 triliun), Perumnas (Rp 0,65 triliun), dan PT Perusahaan Pengelola Aset (Rp 10 triliun).

Komisi VI DPR pada 15 Juli lalu telah menyetujui PMN kepada delapan BUMN. Jumlah ini bertambah tiga BUMN, yakni PTPN, Perumnas, dan PT KAI yang semula hanya akan diberi pinjaman saja. Total PMN yang diberikan pun meningkat menjadi Rp 23,65 triliun.

“Kami sepakat kalau dana pinjaman itu kalau memang akan diusulkan untuk jadi dana PMN dengan catatan, bahwa perusahaan yang menerima atau mengubah dana pinjaman menjadi PMN 100% milik negara,” kata Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima Rabu (15/7).

Terkendala Data dan Administrasi

Pada 16 Juni lalu, Menkeu Sri Mulyani menyatakan kendala utama stimulus covid-19 dan PEN adalah di level operasional yang mencakup pendataan dan proses administrasi. Meskipun terbilang optimal, penyaluran bansos yang bertujuan meningkatkan sisi permintaan pada saat itu baru mencapai 28,63%. Masalah utamanya adalah pendataan yang masih tumpang tindih.

Perkara pendataan diakui oleh Mensos Juliari Batubara pada 24 Juni lalu. Hal ini lantaran pemerintah derah (pemda) belum memperbarui laporan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi tumpuhan penyaluran bansos. Selain itu, pemda juga sempat meminta penyaluran ditunda.

“Jadi untuk daerah yang bisa memberikan data lebih cepat kepada Kemensos, kami bisa cepat salurkan bansos tunainya,” kata Juliari dalam rapat dengan Komisi VII DPR.

Perkara administrasi yang menghambat penyaluran stimulus terlihat untuk UMKM. Per 16 Juni data Kemenkeu menunjukkan penyerapannya baru 0,6%. Dalam laporan Kemenkeu menyebut masalah utamanya adalah penyelesaian regulasi, penyiapan data dan infrastruktur IT untuk mendukung operasionalisasi.

Presiden Jokowi juga sempat menyoroti hal ini pada 18 Juni lalu. Ia meminta kepada seluruh menterinya bekerja luar biasa dalam menghadapi krisis, termasuk sigap membuat regulasi agar PEN lekas terlaksana. Saat itu ia menyoroti tiga sektor, yakni kesehatan, UMKM, dan bansos.

Terobosan pemerintah dalam menyelesaikan perkara ini, salah satunya melalui penerbitan Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentnag Komite Penanganan Covid-19 dan PEN. Melalui peraturan ini Jokowi membentuk Komite Pemulihan Ekonomi Nasional di bawah kepemimpinan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Airlangga didampingi oleh enam menteri lain sebagai wakil ketua, antara lain Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, Menko Polhukam Mahfud MD, Menko PMK Muhadjir Effendy, Menkeu Sri Mulyani, Menkes Terawan Agus Putranto, dan Mendagri Tito Karnavian. Sementara Menteri BUMN Erick Thohir menjabat sebagai Ketua Pelaksana Komite.

Kendala Pendanaan

Kendala PEN bukan hanya perkara penyerapannya, tapi kemampuan negara dalam mendanainya. Besarnya stimulus yang dianggarkan membuat utang pemerintah membengkak. Kemenkeu mencatat total pembiayaan utang neto pemerintah sepanjang semester I 2020 mencapai Rp 421,5 triliun. Jumlah ini meningkat 132,7% dibandingkan periode sama tahun lalu.

“Ini kenaikan yang sangat besar karena defisit diperkirakan mencapai 6,34% dari PDB,” kata Menkeu Sri Mulyani, Senin (20/7).

Sebelum Sri Mulyani mengumumkan hal itu, pemerintah telah lebih merasa berat membiayai stimulus covid-19 dan PEN. Pemerintah pun sempat meminta berbagi beban atau burden sharing pembiayaan utang dengan Bank Indonesia (BI). Kemenkeu saat itu berharap BI dapat berbagi beban melalaui pembelian surat utang pemerintah dengan harga (bunga) khusus.

Namun, BI tak langsung menyetujuinya. BI berkukuh membeli surat utang pemerintah di pasar perdana dengan harga pasar. Menanggapi sikap ini, pemerintah pun menarik dana Rp 30 triliun dari BI dan mengalihkannya ke empat bank BUMN. Tujuannya memacu kredit dan membantu PEN.

BI baru menyepakati berbagi beban dengan pemerintah pada 6 Juli lalu. Melalui kesepakatan ini, BI menanggung Rp 397,56 triliun dari total RP 903,46 triliun pendanaan stimulus covid-19 dan PEN. Menkeu Sri Mulyani menyatakan BI hanya menanggung beban itu tahun ini.

“Itu nanti melalui Surat Berharga Negara yang akan langsung dibeli oleh BI. Jadi nanti berapa pun yang akan kami cairkan, itu yang akan kami terbitkan dan dibeli BI secara langsung dengan suku bunga SBN,” katanya dalam konferensi video, Senin (6/7).  

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...