Perhutanan Sosial: Izin Didapat, Untung Dituai
Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/adat. Adapun pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus keseimbangan lingkungan dan sosial budaya. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2025, menempatkan perhutanan sosial sebagai program pengentasan kemiskinan.
Target dari perhutanan sosial seluas 12,7 hektare (ha). Hingga 30 September 2020, realisasinya telah mencapai 4,2 juta ha. Program perhutanan sosial resmi diluncurkan pada 2015. “Awal adanya program ini karena ketidakadilan akses pemanfaatan hutan,” kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Supriyanto, dalam diskusi webinar pada Oktober 2020 seperti dikutip dari Kontan. Program yang dilakukan membangun kemitraan antara investor dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial atau KUPS.
Diharapkan, perhutanan sosial mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan sekaligus menjaga hutan tetap lestari. Usaha perhutanan sosial berfokus pada pengelolaan potensi yang berada di kawasan Perhutanan Sosial, yaitu meliputi pengembangan usaha hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan hasil hutan kayu (HHK), “serta jasa lingkungan atau ekowisata yang berkelanjutan,” kata Nabhan Aiqani, spesialis pengelolaan pengetahuan KKI WARSI dalam opini di Koran Tempo, 25 September 2020.
Dengan tujuan itu, maka ditemukan relasi antara Perhutanan Sosial peningkatan taraf hidup masyarakat seputar hutan. Salah satunya yang dirasakan oleh Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Beringin Jaya, Lampung. Gapoktan ini bergerak memajukan petani lewat Hutan Kemasyarakatan (Hkm).
Pasca mendapatkan izin Hkm pada 2015, didampingi para pendamping perhutanan sosial, Gapoktan Beringin Jaya mampu memperbaiki kehidupan para petani Tanggamus, Lampung. Gapoktan Beringin Jaya merupakan gabungan dari delapan kelompok tani yang anggotanya merupakan penggarap lahan HKm di register 30 wilayah KPHL Kota Agung Utara Saat itu perjalanan untuk mendapatkan izin cukup panjang. Berawal dari pembalakan lahan besar-besaran pada 1999 yang menyentuh seluruh kawasan Hutan Lindung Tanggamus.
“Namun, saat itu, sudah tumbuh inisiatif para perambah untuk mengelola hutan secara lestari, bahkan pada 2007 saat ada peraturan mengenai Hkm, para gapoktan mulai mengembangkan Hkm,” kata Fajar Sumantri, Koordinator Konsorsium Kota Agung Utara (KORUT), lembaga yang mendampingi gapoktan seperti dikutip dari Kehati.or.id.
Selain pendampingan untuk mendapatkan izin HKm, KORUT juga terlibat dalam proses tata kelola kawasan dan usaha. Menurut Fajar, pasca izin turun pada 2015, masyarakat mendapatkan izin kelola. Semenjak saat itu, masyarakat mengelola hutan dengan tenang dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bahkan, Gapoktan Beringin Jaya memperoleh pinjaman dari Bank Rakyat Indonesia senilai Rp 1,75 m kepada 69 anggotanya. Pinjaman itu digunakan sebagai modal untuk mengelola lahan dan komoditas bukan hutan.
Adapun mayoritas komoditas yang dikembangkan adalah kopi. Fajar mengatakan, kopi dari gapoktan di Tanggamus ini banyak peminatnya hingga terjadi peningkatan pendapatan. “Dari yang hanya Rp 1 juta per kelompok, sekarang sudah mencapai Rp 65 juta.” Meningkatnya pendapatan tak lepas dari legalitas izin sehingga membuat petani lebih tenang dan serius menggarap lahannya. Juga, menjaga hutan tetap lestari.
Berkaca pada kisah tersebut, bahwa salah satu tujuan perhutanan sosial adalah mensejahterakan pendapatan masyarakat di sekitar tercapai. Hal itu juga terungkap oleh survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center pada pertengahan 2020.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 103 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dengan 210 responden menyebutkan, mayoritas responden anggota KUPS merasa terjadi peningkatan jumlah pendapatan naik 2 kali lipat. 25,8 persen responden pendapatannya naik dua sampai tiga kali lipat. Bahkan 2,4 persen responden menyatakan perekonomiannya meningkat lebih dari tiga kali lipat.
Tak hanya itu, para responden sangat setuju bahwa manfaat perhutanan sosial berdampak membuka lapangan kerjaan bagi masyarakat (51,4 persen). Dan mereka juga sangat setuju bahwa perekonomian warga sekitar kawasan PS juga ikut membaik (41 persen).
Harapan petani untuk terus sejahtera dan memiliki masa depan lebih baik selalu ada. Oleh sebab itu, diperlukan pendamping di setiap skema perhutanan sosial. Peran pendamping ini tidak hanya mendampingi proses izin dan pengelolaan perhutanan sosial, namun juga dapat membuka akses ke perbankan dan pasar hingga para petani ini mandiri secara finansial.