Kasus Korupsi Blast Furnance Krakatau Steel Naik ke Penyidikan

Image title
16 Maret 2022, 18:29
Gedung Kejaksaan Agung Bidang Tindak Pidana Khusus
Nuhansa Mikrefin/Katadata
Gedung Kejaksaan Agung Bidang Tindak Pidana Khusus

BPK juga menyebut proyek BFC tidak layak investasi sejak awal. Pasalnya, berdasarkan sensitivity analysis terhadap studi kelayakan, nilai Net Present Value (NPV) proyek hasilnya negatif.

NPV merupakan metode menghitung kelayakan investasi dengan membandingkan selisih antara nilai arus kas yang masuk dengan yang keluar dalam periode waktu tertentu. Jika NPV lebih dari 0 atau positif, artinya penerimaan lebih besar dari nilai investasinya dan begitu pula sebaliknya.

Proyek BFC juga mengalami keterlambatan saat pengerjaannya. Dalam kontrak awal, first blow-in (produksi pertama) dijadwalkan pada Desember 2016. Namun dalam dokumen pelaksanaan, jadwal ini berubah menjadi Juli 2017.

Persoalan keuangan ikut memperburuk pelaksanaan proyek BFC. Sebagian konstruksi BFC seharusnya dikerjakan oleh PT Krakatau Engineering. Namun, keuangan KE kala itu sedang terpuruk. Pada 2016, KE membukukan kerugian hingga Rp 571 miliar, di mana Rp 478 miliar di antaranya berasal dari proyek BFC.

Krakatau Steel sebagai induk usaha akhirnya memberikan bridging loan pada Desember 2016 senilai Rp 683 miliar. Pinjaman ini awalnya tidak boleh digunakan untuk kebutuhan letter of credit (LC) atau Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Namun, pinjaman ini justru dipakai untuk keperluan tersebut, sehingga berdampak ada penyelesaian konstruksi. “PT KE tidak mempunyai pengalaman dalam pembuatan BFC,” tulis BPK

Sementara itu, kondisi keuangan KRAS juga membuat perusahaan harus mengandalkan pinjaman bunga tinggi untuk membiayai proyek konstruksi. Proyek BFC awalnya akan dibiayai menggunakan Export Credit Agency (ECA) Facility dengan tingkat bunga 6 bulan LIBOR+Margin 3.8%. Namun karena sedang kesulitan keuangan, KS tidak bisa mencairkan pendanaan tersebut. Manajemen KRAS akhirnya berpaling ke local commercial loan dengan bunga 5,75%.

Molornya pengerjaan proyek akhirnya menimbulkan pembengkakan biaya hingga US$ 8,4 juta. Selain itu, BPK juga menyebut potensi penghematan yang dikejar lewat pembangunan BFC juga tidak terpenuhi. Nilai yang hilang ini mencapai US$ 95 juta.

Dengan segudang permasalahan tersebut, pelaksanaan pembangunan BFC akhirnya kembali molor. Produksi pertama yang sedianya dijadwalkan pada Juli 2017 molor hingga dua tahun. BFC baru bisa beroperasi pada 11 Juli 2019 dengan menghabiskan dana US$ 850 juta atau sekitar Rp 12 triliun. Namun, baru enam bulan beroperasi, fasilitas ini kembali ditutup pada 14 Desember 2019. Setelah itu, proyek triliunan rupiah itu mangkrak begitu saja.

"Memberikan sanksi sesuai ketentuan perusahaan kepada Tim Penyusun HPS proyek BFC atas penyusunan HPS yang tidak melalui proses analisa," tulis BPK dalam rekomendasinya.

Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan harga baja slab yang diproduksi di BFC jauh lebih mahal dari harga pasar. Slab KS dibanderol US$ 742 per ton, sedangkan di pasar harganya cuma US$ 476 per ton. Mengoperasikan BFC dinilai akan menjadi bumerang bagi perusahaan karena membutuhkan modal kerja hingga US$ 2,5 miliar.

“Kami menghitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok hitungannya, atau dengan kata lain rugi," kata Silmy.

Halaman:
Reporter: Nuhansa Mikrefin
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...