Supersemar, Sejarah yang Tidak Boleh Dilupakan

Siti Nur Aeni
11 Maret 2022, 12:26
Ilustrasi, Aksi Kamisan ke-626 di seberang Istana Merdeka. Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mendesak presiden untuk mencari kebenaran atas keberadaan salinan asli Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar,
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.
Ilustrasi, Aksi Kamisan ke-626 di seberang Istana Merdeka. Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mendesak presiden untuk mencari kebenaran atas keberadaan salinan asli Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar,

Khawatir, jika surat perintah ini sewaktu-waktu dicabut, maka MPRS yang saat itu diisi para pendukung Soeharto kemudian mengesahkan Supersemar menjadi Ketetapan MPRS pada 1967.

Tujuan Supersemar

Secara fisik Supersemar memang belum ditemukan. Namun, sebuah tulisan berjudul “Supersemar: Sejarah dalam Balutan Kekuasaan” yang dimuat dalam Wacana Bernas Jogja tahun 2014 , menyebutkan bahwa Presiden Sokarno menegaskan bahwa tujuan Supersemar yang diberikan kepada Letjen Soeharto yaitu untuk mengatasi kondisi dan menjaga kewibawaan presiden. Pernyataan tersebut diutarakannya dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah)" tanggal 17 Agustus 1966.  

Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno juga mengucapkan terima kasih kepada Soeharto karena telah melaksanakan tugas dengan baik. Namun Soekarno sebagai pemberi perintah juga menekankan bahwa Supersemar bukan peralihan kekuasaan.

Apabila Supersemar dianggap sebagai perintah untuk mengalihkan kekuasaan dan pelimpahan wewenang, tentu hal tersebut merupakan sebuah kekeliruan. Supersemar tidak bisa menjadi legitimasi bagi pengambilan keputusan politis yang dilakukan Soeharto, apalagi jika dijadikan sebagai tonggak berdirinya Orde Baru.

Upaya untuk menegaskan bahwa Supersemar bukan merupakan alat politik sebenarnya sempat dilakukan. Pada 13 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah, yang memuat tiga pokok penting. Pertama, mengingatkan Soeharto bahwa Supersemar merupakan perintah yang bersifat teknis dan administratif, bukan perintah politik apalagi penyerahan kekuasaan.

Kedua, Presiden Soekarno memerintahkan agar Soeharto tidak bertindak di luar batas kewenangannya dalam hal pemulihan keamanan. Ketiga, sebagai pengemban Supersemar, Soeharto diminta untuk segera menghadap Presiden Soekarno.

Mengutip buku "A.M Hanafi Menggugat: Kudeta Jend Soeharto dari Gestapu ke Supersemar", surat perintah tersebut disampaikan kepada Soeharto oleh Wakil Perdana Menteri (Waperdam) untuk Urusan Umum Johannes Leimena. Namun, Soeharto menolak surat perintah tersebut dan tetap berpegang pada Supersemar, yang mengizinkannya untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, demi terciptanya keamanan dan ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan. Soeharto juga menolak untuk menghadap Presiden dengan alasan bersiap menghadiri Sidang Panglima Angkatan Bersenjata yang akan dilangsungkan 14 Maret 1966.

Sama seperti Supersemar, keberadaan Surat Perintah 13 Maret 1966 pun hingga kini tidak ditemukan. Bahkan, meski ada kesaksian terkait dokumen tersebut, keberadaannya tidak pernah sampai ke pers ataupun publik. Sehingga, ada keraguan terkait keberadaan surat perintah ini.

Supersemar pada akhirnya menjadi titik balik kekuasaan Soekarno yang terus merosok. Sementara itu, nama Soeharto terus naik daun. Hal tersebut ternyata turut mempengaruhi arah politik Indonesia yang awalnya berorientasi ke kiri menjadi ke kanan. Dari anti Neokolonialisme-Imperialisme (Nekolim) menjadi pro modal asing. Supersemar kemudian menjadi alat politik legitimasi kekuasaan selama 32 tahun lamanya.

Isi Supersemar

Menurut penjelasan dalam buku “Kudeta Supersemar: Penyerahan atau Perampasan Kekuasaan?”, secara garis besar, isi supersemar yaitu pemberian wewenang dari Presiden Soekarno kepada Soeharto. Adapun wewenang yang diberikan antara lain:

  • Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS. Tindakan tersebut bertujuan untuk menjaga keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
  • Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
  • Melaporkan segala hal yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab di atas

Halaman:
Editor: Agung
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...