Pemerintah Dinilai Lepas Tangan Atas Masalah Polusi Udara di Jakarta
Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (IBUKOTA) menyayangkan langkah pemerintah yang mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait polusi udara di DKI Jakarta.
Dengan langkah banding ini pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai pemerintah pusat dan daerah terkesan lepas tangan dengan permasalahan polusi udara di ibu kota.
"Ini sangat memprihatinkan. Kemenangan warga belum mutlak tercapai karena porses banding dari pemerintah pusat dan daerah seolah tidak bersedia taat pada perintah pengadilan," kata Jeanny dalam diskusi daring, Selasa (21/6).
Pada September 2021, 32 warga Jakarta bersama Koalisi IBUKOTA menggugat pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah polusi udara di ibu kota.
PN Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan tersebut dan memvonis Presiden Joko Widodo beserta jajarannya, serta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersalah atas polusi udara di ibu kota.
Namun, faktanya, warga ibu kota masih belum bisa menikmati kemenangan tersebut dengan mendapatkan udara bersih karena putusan tersebut dibanding oleh Presiden, Menteri KLHK, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan.
Adapun tingkat kualitas udara di Ibu Kota Jakarta dalam sepekan terakhir sejak 15 Juni hingga 20 Juni 2022 tercatat sebagai kota dengan polusi tertinggi di dunia pada pengukuran udara di pagi hari.
Data indeks kualitas udara (Air Quality Index) dari IQAir pada Senin (20/6) pukul 06.00 WIB menunjukkan kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI yang termasuk level sangat tidak sehat.
Sehari kemudian, pada Selasa pagi (21/6) pukul 06.33 WIB, Jakarta masih berada di urutan tinggi dengan udara paling berpolusi dengan skor 154 US AQI, di bawah Beijing (176 US AQI) dan Kuwait (154 US AQI).
"Data-data ini mengacu pada data resmi yang dimiliki pemerintah yaitu KLHK dan DLH DKI Jakarta," kata Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.
Bondan mengatakan, salah satu penyebab dari tingginya skor pencemaran udara di DKI Jakarta disebabkan oleh faktor cuaca dan sumber pencemar udara yang belum bisa dikendalikan secara serius melalui kebijakan pemerintah.
Dia menjelaskan, partikel polusi udara dari PM2.5 meningkat sejak dini hari hingga pagi hari. Hal ini terjadi karena tingginya kelembaban udara sehingga menyebabkan peningkatan proses adsorpsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel atau dikenal dengan istilah secondary air pollutants.
"Memang spesifik dari asap knalpot kendaraan bermotor, dan industri dari dalam dan di luar Jakarta dan pembangkit listrik batu bara yang berada di luar Jakarta," sambung Bondan.
Selain itu, penyumpang polusi udara di DKI Jakarta juga ditimbulkan dari aktivitas konstruksi, debu jalan beraspal, pembakaran terbuka biomasa dan bahan bakar, partikel tanah dan garam laut. Bondan melanjutkan, udara tercemar yang terhirup oleh masyarakat akan menimbulkan penyakit akut seperti asma.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup ICEL, Fajri Fadhillah, mengatakan polusi udara yang ada di Jakarta adalah permasalahan lintas batas.
Sumber-sumber pencemar udara dari luar Jakarta, terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, secara signifikan berkontribusi terhadap memburuknya kualitas udara Jakarta.
Dalam kondisi seperti ini, ujar Fajri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) harus melakukan pengawasan kepada tiga pimpinan daerah, yakti Gubernur Banten, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur DKI Jakarta.
"Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing." Jelas Fajri.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat konsentrasi PM2,5 di Jakarta dan sekitarnya mengalami lonjakan dalam beberapa hari terakhir, jauh melebihi ambang aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hasil pantauan konsentrasi PM2,5 di BMKG Kemayoran Jakarta menunjukkan bahwa sepanjang Juni 2022, konsentrasi rata-rata PM2.5 berada pada level 41 µg/m³ (mikrogram per meter kubik). Angka ini cenderung meningkat pada dini hari hingga pagi hari.