Petani Sawit Minta Pemerintah Hapus Aturan DPO Agar Stok CPO Terserap
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengusulkan tiga strategi untuk mempercepat serapan stok minyak sawit mentah atau CPO. Salah satu yang diusulkan adalah menghapus aturan DPO atau ketentuan harga untuk kewajiban penjualan di pasar domestik.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung menilai, strategi pemerintah untuk menurunkan stok CPO di tanki penyimpanan agar TBS petani belum cukup. Tanki penyimpanan sawit di sebagian besar pabrik yang penuh membuat tandan buah segara sawit yang dihasilkan petani tak tersebut.
Pemerintah antara lain berencana melonggar ketentuan ekspor dengan menaikkan koefisien perhitungan saldo persetujuan ekspor dari 1:7 menjadi 1:8,4. "Apakah itu ide yang tepat? Saya pikir tentu tidak. Pemerintah tentu tidak harus berpikir sesederhana itu, kami saja petani paham strateginya," kata Gulat kepada Katadata.co.id, Selasa (26/7).
Tujuan dari peningkatan koefisien perhitungan tersebut adalah mempercepat proses ekspor CPO. Namun demikian, Gulat mengusulkan agar pemerintah mengesampingkan aturan kewajiban pasar domestik (DMO) dan menghapus aturan kewajiban pasar domestik yang mengatur harga (DPO).
Ia berpendapat, rendahnya harga CPO di dalam negeri membuat aturan DPO tidak efektif lagi. Saat ini, harga CPO diperdagangkan di bawah Rp 10.000 per kilogram (kg)di dalam negeri, sedangkan harga CPO menurut DPO adalah Rp 10.400 per Kg.
Selain itu, Gulat mengusulkan pemerintah merelaksasi kebijakan Flush-Out (FO) untuk mempercepat proses ekspor CPO. Saat ini, harga acuan TBS sawit yang dinikmati petani masih mempertimbangkan biaya FO senilai US$ 200 per ton.
Di samping itu, menurut dia, konsumsi CPO di dalam negeri harus ditingkatkan untuk menyerap kelebihan stok. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan stok CPO normal adalah 3 juta ton per bulan, artinya saat ini ada stok berlebih sebanyak 4,2 juta ton.
Gulat mengajukan agar Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyerap 1,2 juta ton CPO sebagai bahan baku minyak goreng sawit untuk 6 bulan ke depan. Ia menilai konsumsi minyak goreng di dalam negeri setara dengan 200.000 ton CPO per bulan.
Gulat mencatat harga CPO hari ini adalah sekitar Rp 9.500 per Kg. Dengan demikian, dana yang harus dikeluarkan BPDPKS mencapai Rp 11,4 triliun untuk membeli 1,2 juta ton CPO sebagai bahan baku minyak goreng sawit.
"Jadi, dibeli sekarang bahan bakunya, lantas diolah melalui pabrik mana yang dianggap BPDPKS cocok atau melalui PT Perkebunan Nusantara, tentu membantu mengurangi stok dalam negeri ," kata Gulat.
Gulat melaporkan Cina juga akan membeli CPO Indonesia sebanyak 1 juta ton hasil dari lobi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi di Cina. Dengan demikian, total stok yang harus dikeluarkan menuju kondisi normal adalah 2 juta ton.
Ia berpendapat Indonesia dapat mengendalikan harga CPO internasional jika konsumsi dalam negeri kembali ditingkatkan dengan menaikkan program biodiesel menjadi B35. Ini artinya, campuran CPO dalam solar dinaikkan menjadi 35%.
Selain itu, petani sawit mendorong agar pemerintah mengganti acuan referensi harga TBS sawit dari tender PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara atau KPBN menjadi harga referensi CPO besutan Kemendag. Adapun perhitungan harga referensi CPO Kemendag tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 55-2015 tentang Tata Cara Harga Patokan Ekspor atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar.
Gulat mengataka, referensi harga yang dibuat oleh Kemendag lebih menggambarkan kondisi pasar sawit dunia. Perhitungan harga referensi CPO Kemendag merupakan hasil dari gabungan harga CPO di Rotterdam, Malaysia, dan KPBN.
Oleh karena itu, ia mengajukan revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 1-2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Revisi yang diajukan adalah pengubahan acuan harga referensi dari hasil lelang TBS oleh KPBN menjadi harga referensi CPO oleh Kemendag.
Gulat menilai revisi ini penting lantaran 70% dari total pabrik kelapa sawit (PKS) menyerap TBS dari petani. Sementara itu, 30% PKS telah terintegrasi dari kebun kelapa sawit hingga proses produksi.