Pemerintah Diminta Transparan Buka Data Sumber Polusi Udara Jakarta
Kualitas udara di DKI Jakarta belakangan ini mendapat sorotan. Hal ini lantaran indeks kualitas udara yang selalu berada pada kategori tidak sehat, berdasarkan data situs pemantau kualitas udara, IQAir.
Terkait hal tersebut pemerintah sudah melakukan sejumlah upaya mulai dari penyemprotan air ke jalan, dan dari atas gedung, hingga membuat hujan buatan.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo menilai upaya tersebut belum bisa menyelesaikan masalah polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Pasalnya menurut dia, upaya itu hanya bersifat sementara sehingga tidak efektif.
Oleh sebab itu, Deon meminta pemerintah untuk transparan dan terbuka terkait data-data hasil pemantauan pencemaran dari sumber padat polusi seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ke publik. Dia menilai, adanya polusi udara di Jakarta paling dominan disebabkan oleh PLTU dan transportasi.
“Jadi pemerintah harus terbuka mengenai daya pemantauan polusi udara ini. Karena publik punya hak juga untuk mengetahai jenis polutan yang dihirupnya setiap hari akibat polusi industri,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan IESR secara daring, Kamis (31/8).
Dia menyebutkan, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal dijelaskan bahwa telah ada standar baku mutu emisi untuk PLTU batubara dan juga mewajibkan PLTU untuk melakukan pemantauan emisi secara terus-menerus.
Dengan demikian, informasi tersebut dapat memberikan dasar mitigasi polusi udara secara lebih sistemik. Selain itu, informasi ini juga dapat menjadi landasan penegakan kepatuhan bagi setiap PLTU terhadap standar aturan yang berlaku.
Deon mengatakan, sanksi dan denda juga sudah diatur dengan jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun sayangnya, hingga saat ini informasi polusi dan hasil monitoring PLTU tidak terbuka untuk diakses publik.
Untuk itu, dia mengatakan transparansi dan keterbukaan data khususnya informasi polusi serta hasil monitoring PLTU harus segera dilakukan. Apalagi, semua upaya jangka pendek yang dilakukan pemerintah tidak akan efektif selama sumber polusi yaitu PLTU tidak diatasi.
“Ini yang harus kita atasi langsung yaitu PLTU. Karena PLTU itu sudah ada programnya, kalau kendaraan pribadi ini cukup sulit karena melibatkan sangat banyak orang, prosesnya akan lebih panjang lagi,” kata Deon.
Pada kesempatan yang sama, Pengacara Lingkungan, Bersihkan Indonesia Margaretha Quina juga mengatakan transparansi data harus segera dilakukan. Pasalnya hal ini merupakan salah satu hak atas informasi bagi publik untuk mengetahui kandungan polutan apa saja yang mereka hirup setiap harinya.
Selain itu, dari data polusi tersebut publik juga bisa mengetahui seberapa besar pengaruhnya polusi udara terhadap aktivitas mereka, “Transparansi data ini penting untuk mengetahui bagaimana polusi ini berdampak terhadap kesehatan kita,” kata Margaretha.
Peneliti Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan menilai perusahaan yang memiliki kontribusi besar terhadap polusi secara etika harusnya menyadari untuk memberitahu masyarakat bahwa dampak dari aktivitas produksi yang mereka lakukan bisa merusak kesehatan tanpa menunggu aturan dari pemerintah. Untuk itu, perusahaan juga harus meminimalkan polusi yang dikeluarkan.
”Polusi ini bergerak, jadi lintas batas emisi dari tempat lain berpengaruh, dari semua sektor pun berpengaruh. Apalagi bagi peneliti, semakin lengkap data dari semua sektor semakin baik. Karena kita bisa memitigasi isu terkait kualitas udara ini. Mencapai solusi itu harus ada rencana yang komprehensif,” ujar Katherine.
Upaya yang Bisa Dilakukan Pemerintah untuk Perbaiki Kualitas Udara Jakarta
Sementara itu, Analis Energi Transition Zero Handriyanti Diah Puspitarini menyebutkan beberapa upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi udara di Jakarta yakni, memperbanyak armada dan jalur transportasi publik.
“Jika transportasi memang dinilai sebagai sumber yang dominan, maka seharusnya pemerintah tidak boleh langsung mewajibkan masyarakat untuk mengganti moda transportasi pribadinya tanpa ada solusi yang meringankan masyarakat secara umum,” ujarnya saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (22/8).
Dalam hal tersebut, dia mengatakan bahwa tidak semua orang mempunyai uang untuk mengganti motornya ke motor listrik meskipun pemerintah sudah memberikan subsidi,
“Saya sendiri pengguna setia TJ (Trans Jakarta) dan Jaklingko yang justru mewajibkan penggunanya untuk melatih kesabaran saat menunggu kendaraannya datang dan saat menumpanginya,” kata dia.
Selain itu, Yanti menyebutkan upaya lainnya yakni, dengan melakukan pemantauan emisi dari sektor industri secara berkala. Pasalnya, hingga saat ini belum ada laporan yang terbuka untuk publik mengenai hal ini. “Publikasi Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dari ESDM sendiri tersedia hanya hingga 2019,” ujarnya.