Menakar Nasib Gibran di Pilpres Usai Ketua KPU Ditetapkan Langgar Etik

Ira Guslina Sufa
6 Februari 2024, 06:20
Gibran
ANTARA FOTO//M Risyal Hidayat/tom.
Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka menyampaikan pandangannya saat Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024).
Button AI Summarize

Putusan terbaru yang dikeluarkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas dugaan pelanggaran etik Komisi Pemilihan Umum ramai diperbincangkan. Dalam putusan terbaru DKPP menyatakan Ketua KPU Hasyim Asyari dan enam anggota KPU melanggar kode etik dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Pemilu 2024.

"Memutuskan, satu, mengabulkan pengaduan para penganut untuk sebagian. Dua, menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari," ujar Ketua DKPP Heddy Lugito usai membacakan putusan di Gedung DKPP, Jakarta, Senin (5/2/).

Heddy mengatakan, Hasyim dijatuhi sanksi berupa peringatan keras terakhir. Selain Hasyim, anggota KPU RI lainnya, yakni Yulianto Sudrajat, August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, Idham Holik, dan M Afifuddin, juga dijatuhi sanksi peringatan.

Putusan terbaru yang dibuat KPU menjadi pembicaraan lantaran publik penasaran apakah akan berdampak terhadap pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Alasannya, putusan tersebut dibuat untuk perkara dengan Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023 yang diadukan Demas Brian Wicaksono, perkara (Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023 oleh man Munandar B, perkara nomor Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023 oleh P.H. Hariyanto, dan perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023, dan Rumondang Damanik itu mempersoalkan kebijakan KPU dalam meloloskan pencalonan Gibran sebagai cawapres. 

 Sebagai salah satu kontestan pemilihan presiden atau pilpres 2024, Gibran bersama Prabowo Subianto mendaftar ke KPU pada 25 Oktober 2023. Mereka mendaftar di hari terakhir pendaftaran peserta pilpres. 

Prabowo melenggang bersama Gibran maju sebagai capres dan cawapres setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat minimal pendaftaran capres dan cawapres yang sebelumnya minimal 40 tahun menjadi minimal 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum. 

Putusan itu membuat Gibran yang baru berusia 36 tahun pada saat pelaksanaan pemilu bisa mendaftar sebagai cawapres. Pada 13 November 2023 KPU menetapkan Gibran sah menjadi cawapres. KPU menetapkan tiga pasang capres dan cawapres di pemilu 2024 yaitu Anies Baswedan - MUhaimin Iskandar, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo - Mahfud MD. 

Bagaimana Dampak Putusan Pelanggaran Etik KPU terhadap Pencalonan Gibran? 

Mengenai pelaksanaan pilpres, Heddy mengatakan putusan DKPP tidak berdampak langsung pada proses pemilu yang telah berjalan. Heddy mengatakan pelanggaran kode etik Ketua KPU beserta komisioner lainnya tidak mempengaruhi pada pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Pilpres 2024.

 Menurut Heddy vonis yang telah diputuskannya tersebut terhadap Hasyim dan enam anggota KPU lain murni soal kode etik. Atas dasar pertimbangan itu ia mengatakan putusan DKPP tidak berdampak pada proses pilpres yang telah berjalan. 

 "Nggak ada kaitannya dengan pencalonan juga, ini murni soal etik, murni soal etik penyelenggara pemilu," kata Heddy.

Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid berpendapat sama. Ia menyebut sanksi DKPP kepada KPU tidak akan berdampak apapun kepada Prabowo - Gibran. Putusan itu disebut tidak mempunyai implikasi konstitusional serta hukum.

"Eksistensi sebagai legal subject pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional serta  legitimate'," kata Fahri seperti dikutip Selasa (6/2). 

Fahri menerangkan dalam membaca putusan DKPP ini harus dilihat pada dua konteks yang berbeda. Pertama status konstitusional KPU sebagai subjek hukum yang diwajibkan untuk melaksanakan perintah pengadilan yaitu Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024

Sedangkan yang kedua adalah bahwa dalam melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi "a quo" tindakan KPU dianggap tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, sehingga berkonsekuensi terjadi pelanggaran etik.
Fahri berpendapat bahwa dalam pertimbangan yuridis putusan DKPP mengatakan bahwa dalam melaksanakan putusan MK, tindakan KPU selaku teradu tidak sejalan dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu.

Pendapat sama juga disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari. Ia mengatakan fungsi DKPP hanya menilai kebijakan penyelenggaraan pemilu karena proses hukum berada di bawah pengadilan.

"Mereka hanya menilai tindakan maupun kebijakan yang dikeluarkan penyelenggara pemilu itu etis atau tidak. Tentu ada proses hukum berikutnya," ujar Ferry. 

Halaman:
Reporter: Ade Rosman, Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...