Bisnis Fintech Ukur Risiko Kredit Potensial, tapi Butuh Aturan Data
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), teknologi finansial (fintech) di Indonesia terbagi dalam 18 klaster saat ini, salah satunya penilaian kredit (credit scoring). Bisnis ini dinilai potensial, tetapi terkendala ketiadaan aturan perlindungan data.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, perlu ada Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar pengumpulan data tidak disalahgunakan. Sedangkan regulasi ini masih dibahas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Dewan Perwakilan Rayat (DPR).
Alhasil, jenis dan sumber data yang bisa diakses oleh fintech credit scoring masih terbatas. Padahal, perusahaan seharusnya bisa memaksimalkan data historis pinjaman individu maupun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), juga penggunaan layanan telekomunikasi sehari-hari.
Jika ada UU PDP, data kesehatan, media sosial hingga transaksi di e-commerce bisa dimaksimalkan asal sesuai peraturan. “Perlu ada percepatan pengesahan RUU PDP,” kata Aviliani dalam acara virtual Fintech Talk, Senin (23/11).
Perusahaan di sektor tersebut akan mendapatkan kepastian hukum terkait pengelolaan data untuk penilaian kredit terhadap UMKM. Sebab, UU PDP mengatur tentang data mana saja yang tidak boleh dimanfaatkan oleh swasta dan pemerintah.
Selain UU PDP, regulator seperti OJK dinilai perlu membuat aturan khusus mengenai transfer data untuk fintech credit scoring. "Butuh juga pemberian akses pemanfaatan data kependudukan melalui Peraturan OJK (POJK) tentang penilaian kredit," ujarnya.
Ia juga menyarankan fintech jenis itu memperluas akses penggunaan teknologi. “Harus disusun panduan model kerja sama penyelenggara dengan pihak lain,” katanya.
Pada acara yang sama, Country Diretor Tongdun Indonesia Peter Sugiapranata berharap masyarakat percaya atas pengelolaan data di fintech credit scoring. Sebab, ada kode etik (code of conduct) industri. “Transparansi sumber dan pemprosesan data dilakukan,” katanya.
Meski begitu, perusahaan tetap menunggu terbitnya UU PDP agar kepercayaan terhadap layanan fintech credit scoring meningkat. “Jadi, ada rambu-rambu untuk kami,” ujarnya.
Tongdun merupakan perusahaan fintech credit scoring asal Tiongkok yang berfokus pada manajemen risiko. Startup ini mengandalkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intellegence (AI) dan platform komputasi awan (computing platforms), serta masuk regulatory sandbox dari OJK.
Hal senada disampaikan oleh CEO TokoScore Herman Widjaja. Jika ada UU PDP, “kami bisa menggunakan teknologi untuk kelola row data, bagian dari mitra di media sosial, data seluler, dan lainnya," kata dia.
Regulasi tersebut dinilai akan meningkatkan potensi bisnis penilai risiko kredit, mengingat banyak UMKM yang membutuhkan modal usaha. "Pemberi pinjaman itu kesulitan menilai kredit," ujarnya.
OJK sedang menyiapkan aturan baru terkait empat jenis fintech yakni credit scoring, agregator, perencana keuangan, dan pendanaan proyek (project financing). Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan, keempat jenis ini belum memiliki aturan khusus. Dari 18 klaster, baru pinjam meminjam (peer to peer lending) dan urun dana (equity crowdfunding) yang mempunyai regulasi spesifik.
Selama ini, keempat jenis bisnis teknologi finansial itu mengacu pada POJK Nomor 13 Tahun 2018. Regulasi ini mewajibkan penyelenggara inovasi keuangan digital (IKD) harus melalui mekanisme penelitian dan pendalaman atau regulatory sandbox.
"Kami memperkirakan, masing-masing klaster itu perlu diatur lebih lanjut," kata Nurhaida dalam diskusi virtual dan peluncuran Indonesia Fintech Society (IFSoc), dua pekan lalu (9/11). "Dalam waktu dekat (empat fintech) akan diatur."