Perlukah Batasan Usia Pengguna Medsos dalam RUU Perlindungan Data?

Desy Setyowati
24 November 2020, 06:30
Menimbang Dampak dan Manfaat jika Pengguna Medsos Dibatasi 17 Tahun
123RF.com/macrovector
Ilustrasi

Kemudian, langkah mengontrol perusahaan media sosial yang mayoritas asing dan tidak memiliki kantor atau badan usaha Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada sanksi tegas kepada perusahaan pengembang aplikasi media sosial jika ada pelanggaran.

Sedangkan pembaruan terkait aturan badan usaha tetap (BUT) masuk dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja klaster perpajakan. “Sistem mereka harus disesuaikan dengan kebijakan Indonesia. BUT dan keberadaan server di Tanah Air menjadi kewajiban,” ujar Heru.

Sedangkan Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Sinta Dewi Rosadi mengatakan, usulan tersebut harus diperjelas, apakah membatasi usia pengguna membuat akun atau dari sisi pemrosesan datanya.

“Di GDPR, pengendalian dan pemrosesan data untuk keperluan khusus dan pemasaran, harus ada concern orang tua,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (23/11).

Jika yang dimaksud yakni membatasi pembuatan akun, mekanismenya akan panjang. Verifikasi untuk memastikan pengguna tidak berbohong perihal umur juga tidak mudah. “Harus diatur spesifik dan bisa diimplementasikan,” katanya.

Sejauh ini, ia menilai ada dua cara yang memungkinkan untuk verifikasi yakni menggunakan kartu kredit (credit card) karena hanya orang dewasa yang memiliki atau identitas digital.

Berdasarkan situs resmi Apple, identitas digital adalah cara elektronik untuk mengidentifikasi seseorang. Di dalamnya terdapat sertifikat berisi ‘kunci umum’ yang dapat dilihat, dan yang tak terlihat atau ‘pribadi’.

Kunci pribadi memungkinkan pengguna menandatangani dokumen elektronik dengan tanda tangan yang hanya dapat diverifikasi orang lain dengan kunci umum. Ini dapat mendekripsi dokumen yang dienkripsi oleh orang lain dengan kunci umum pengguna.

Untuk memastikan keaslian identitas digital, otoritas sertifikat memberikan identitas digital kepada orang-orang yang identitasnya telah diverifikasi.

Sedangkan sertifikat yang dimaksud yakni lampiran ke dokumen elektronik yang memungkinkan transfer informasi aman melalui internet. Organisasi yang menerbitkan seperti VeriSign, Inc., atau RSA Data Security, Inc.

Meski begitu, ada dua persoalan lain yang harus diatur oleh pemerintah yakni kontrol dan regulasi antarnegara. Ini mengingat perusahaan pengembang media sosial berbasis di luar negeri.

Secara keseluruhan, orang tua yang paling berperan dalam melindungi anak dari konten yang tidak sesuai di media sosial. “Ini seperti pisau. Anak-anak boleh memegangnya, tetapi orang tua menjelaskan fungsinya,” kata Sinta.

Hal senada disampaikan oleh Peneliti Keamanan Siber Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha. “Seharusnya, fokus regulasi diubah. Bagaimana anggaran dan aturan didorong untuk mendukung edukasi siber atau digital. Pembatasan usia ini bukan solusi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (23/11).

Selain itu, tidak ada instrumen kuat yang mendukung pembatasan. “Maksudnya begini, mengakses media sosial bagi anak di bawah 17 tahun tidak dilarang dalam agama. Norma pendukungnya tidak ada. Media sosial ini kan sebenarnya dalam posisi netral. Yang berbahaya ini yakni konten tertentu baik hoaks, pornografi maupun penipuan,” ujar dia.

Di satu sisi, survei APJII menunjukkan bahwa jumlah pengguna internet Indonesia naik 8,9% dari 171,2 juta pada 2018 menjadi 196,7 juta per kuartal II 2020. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:

Sedangkan survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kominfo menunjukkan, masyarakat Indonesia lebih mempercayai informasi yang beredar di media sosial ketimbang situs resmi pemerintah. Platform yang paling dipercaya yakni WhatsApp.

Indeks tersebut berdasarkan hasil survei terhadap 1.670 responden, yang dilakukan selama 18-31 Agustus lalu. Responden merupakan anggota rumah tangga berusia 17-30 tahun dan mengakses internet tiga bulan terakhir. Tingkat toleransi kesalahan (margin of error) 2,45%.

Berdasarkan survei tersebut76% responden mencari informasi melalui media sosial. Kemudian, 59,5% televisi dan 25,25 berita online.

Media yang paling dipercaya oleh masyarakat
Media yang paling dipercaya oleh masyarakat (Katadata Insight Center dan Kominfo)

Ada beberapa alasan yang mendorong masyarakat lebih mempercayai media sosial, ketimbang lainnya. Secara rinci, dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Alasan memercayai media sebagai sumber informasi
Alasan memercayai media sebagai sumber informasi (Katadata Insight Center dan Kominfo)

Meski begitu, mayoritas dari mereka menilai bahwa Facebook menjadi media yang paling banyak penyebaran hoaks. Disusul oleh WhatsApp, YouTube, portal berita online, Instagram, dan televisi.

Konten bohong yang paling sering mereka temui yaitu politik. Kemudian, kesehatan, agama, kerusuhan, lingkungan, dan bencana alam.

Berdasarkan survei KIC dan Kominfo11,2% menyatakan pernah menyebarkan kabar bohong atau hoaks. Sebanyak 68,4% di antaranya mengatakan hanya ingin mendistribusikan informasi, meski belum memverifikasi kebenarannya.

Lalu, 56,1% tidak tahu bahwa itu hoaks. Kemudian, karena alasan tak mengetahui sumber informasi, iseng, dan untuk memengaruhi orang lain.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...