Tantangan Startup Agritech Dukung Ketahanan Pangan Indonesia
- Menteri Sri Mulyani menganggarkan Rp 99 triliun untuk ketahanan pangan pada 2021, yang menjadi peluang bagi startup pertanian dan perikanan
- Startup pertanian dan perikanan kategori e-commerce dinilai lebih mudah meraup untung ketimbang penyedia solusi teknologi
- Gojek berinvestasi di startup perikanan lewat GoVentures
Pemerintah menyiapkan Rp 99 triliun untuk program ketahanan pangan pada 2021, seiring meningkatnya ancaman krisis pangan dunia akibat pandemi corona. Ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi startup pertanian (agritech) dan perikanan (aquaculture).
Rerata startup yang merambah sektor ini masuk kategori teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) seperti TaniFund dan Crowde maupun e-commerce seperti TaniHub dan Aruna. Sedangkan yang mengembangkan teknologi yakni eFishery, Jala Tech dan Hara.
Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani mengatakan, salah satu kesulitan startup agritech menyediakan solusi berbasis teknologi bagi petani yakni sistem tanam polikultur atau menanam beragam tanaman pada satu lahan. Ini menyulitkan perangkat atau alat melakukan kontrol jarak jauh.
Untuk berinvestasi di startup yang menyediakan perangkat berbasis teknologi, investor biasanya mengkaji tiga hal yakni kualitas, konsistensi, dan scalability layanan. “Kalau ada teknologi yang mendukung ketiga ini akan dicari investor,” kata Edward kepada Katadata.co.id, Selasa (15/12). “Jika tidak, (perangkat) sulit dijual ke konsumen akhir.”
Tantangan lainnya yakni petani di Indonesia bekerja sendiri-sendiri. “Perlu membentuk koperasi. Harus ada pemimpin (petani) yang mengerti soal infrastruktur, proses produksi hingga mengemas produk,” ujar Edward. “Perlu menyatukan ekosistem.” Konsep seperti ini menurutnya berhasil di beberapa negara.
Sedangkan Investment and Venture Partner di UMG Idealab Jefry Pratama menilai, model bisnis e-commerce merupakan cara termudah bagi startup agritech untuk menghasilkan uang. Jumlah perusahaan rintisan yang masuk kategori ini di sektor pertanian pun cukup banyak.
Akan tetapi, sedikit startup agritech Indonesia yang mengandalkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), analisis data, robotika, atau teknologi mendalam (deeptech) seperti rekayasa genetika. Jefry menilai, salah satu penyebabnya yakni minimnya talenta digital.
“Kurangnya teknologi canggih di startup agritech Indonesia merupakan peluang pertumbuhan yang lebih besar di bidang logistik, rantai pasokan, dan infrastruktur,” demikian kata Jefry dikutip dari laporan CompassList berjudul ‘Indonesia Agritech Report 2020’ yang dirilis Maret lalu (31/3).
Selain itu, ia tidak yakin petani mau membeli solusi pertanian berbasis teknologi. “Potensinya besar, tetapi saat ini mungkin tidak mudah diterima pasar,” kata dia dikutip dari situs resmi UMG Idealab, September tahun lalu.
Ia mencontohkan salah satu portofolio UMG Idealab yakni FROGS yang mengembangkan drone untuk mengumpulkan data di lahan pertanian. Pembeli layanan ini sedikit. Selain itu, “perlu mendidik pasar tentang potensi produk ini,” ujar dia.
Pemerintah memang menjadi pengguna potensial untuk produk tersebut. Namun, “jika mencari pendapatan, Anda harus menjual produk,” kata Jefry.
Di Indonesia, eFishery sempat mengalami persoalan serupa. Startup ini menyediakan perangkat pemberi pakan otomatis (autofeeder) untuk ikan dan udang. Ini memungkinkan petambak menjadwalkan pemberian makan menggunakan ponsel pintar (smartphone).
Alat tersebut memiliki sensor berbasis Internet of Things (IoT) untuk mengetahui kapan ikan atau udang kenyang, sehingga berhenti mengeluarkan pakan. eFishery mencatat, sekitar 70-90% biaya budidaya ikan atau udang yakni untuk pakan.
Co-Founder sekaligus CEO eFishery Gibran Huzaifah bercerita, pengembangan bisnis ketika awal berdiri pada 2013 menemui sejumlah tantangan. “Kami membangun ketika belum banyak komponen perangkat keras (hardware),” kata dia saat wawancara via podcast dengan jurnalis Indo Tekno Alan Hellawell, Maret lalu (9/3).
Selain itu, petambak belum terbiasa menggunakan ponsel pintar (smartphone) berbasis teknologi seperti IoT. “Jadi kami mengedukasi petambak mengenai penggunaan layanan dan prosesnya untuk waktu yang cukup lama,” ujar dia.
Sembari mengedukasi, eFishery terus mengembangkan teknologi solusi pemberi pakan ikan dan udang. Kini, perusahaan mendukung puluhan ribu kolam ikan di lebih dari 180 kota.
Dalam dua tahun terakhir, eFishery mengkaji solusi lain yang menciptakan nilai tambah bagi petambak menggunakan data yang dikumpulkan oleh smart feeder. Pada tahun lalu, startup ini pun merambah bisnis e-commerce melalui eFisheryFresh dan eFisheryFeed, serta fintech lending lewat eFisheryFund.
Marketplace eFisheryFeed menghubungkan petambak dengan produsen secara langsung. Sedangkan platform business-to-business (B2B) eFisheryFresh, memungkinkan mereka menjual ikan langsung ke restoran, hotel, dan bisnis kuliner lainnya.
Perusahaan juga memiliki 50 eFisheryPoints per Oktober, yang merupakan lokasi bagi petani untuk mendapatkan produk eFishery, menjual ikan, dan mengikuti pelatihan. Startup ini menargetkan 100 eFisheryPoints pada akhir 2020.
Dengan strategi tersebut, eFishery diminati oleh investor. Startup ini memperoleh investasi dari modal ventura dan investor Gojek yakni GoVentures dan Northstar Group. Penanam modal lain yang masuk yakni Aqua-spark, Wavemaker Partners, Triputra Group hingga Maloekoe Ventures.
Sedangkan CTO Hara Agriculture Imron Zuhri mengatakan bahwa menemukan model bisnis yang berkelanjutan merupakan tantangan utama. Berbeda dengan e-commerce atau fintech, ia mencatat belum ada pemain raksasa di bisnis agritech yang terbukti sukses.
Alhasil, tidak ada contoh jelas bagaimana perusahaan agritech ideal bisa untung. Oleh karena itu, startup di sektor perlu bereksperimen untuk dapat menemukan cara berbisnis yang sesuai. Selain itu, harus berkolaborasi dengan banyak institusi seperti pemerintah, perusahaan, dan startup lainnya.
Hara pada awalnya ingin menerapkan konsep ‘pertanian presisi’ di Indonesia dengan memanfaatkan teknologi seperti pengawasan sawah atau kebun dari jarak jauh secara akurat dan dapat meningkatkan hasil panden. Caranya, menggunakan drone dan citra satelit untuk menilai kesehatan dan pertumbuhan tanaman.
“Kami meluncurkan pilot project di Lampung, cukup berhasil dan meningkatkan produktivitas petani 27%,” kata Imron dikutip dari Kr Asia, pada Juni tahun lalu (24/6/2019).
Namun, Hara memutuskan untuk mengubah bisnisnya dan berfokus pada pengumpulan data petani. “Kami menyadari bahwa bisnis ini akan sulit untuk dipertahankan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, kami mundur dan fokus pada aspek pengumpulan data,” ujar dia.
Hal itu karena ia menyadari bahwa data merupakan salah satu masalah terbesar pertanian Indonesia. Data sangat penting untuk menerapkan strategi yang lebih efisien, serta berdampak langsung pada biaya produksi dan keuntungan.
Informasi yang dikumpulkan oleh Hara seperti identitas petani, hama dan penyakit pada tanaman, luas lahan, lokasi, kepemilikan lahan, kultivasi seperti waktu dan jenis tanaman, pupuk dan obat yang dipakai; ekologi seperti cuaca dan tipe tanah hingga nilai penjualan hasil panen. Hara menggunakan blockchain untuk mengumpulkan data ini.
Perusahaan pun bekerja sama dengan perbankan untuk memberikan pinjaman kepada petani berdasarkan analisis data. “Kami mendapat tanggapan positif dari mitra bank, karena tingkat pengembalian dari siklus pertama mencapai 97%,” ujar dia.
Minat Investor terhadap Startup Pertanian dan Perikanan
Investment and Venture Partner di UMG Idealab Jefry Pratama mencatat, modal ventura mulai tertarik masuk ke startup agritech seperti Openspace, East Ventures, dan Alpha JWC. “Putaran selanjutnya, menurut saya bagian pendataan (seperti Hara) bisa dikembangkan lebih lanjut,” kata dia.
Ia mencatat, ada banyak startup di sektor pertanian dan perikanan yang tidak dapat memberikan data tentang para petani itu sendiri. Padahal, informasi ini dibutuhkan oleh banyak pemangku kepentingan.
UMG Idealab berinvestasi di dua perusahaan rintisan agritech seperti Frogs dengan drone taxi dan MSMB di bidang teknologi pertanian. Dalam tiga tahun terakhir, perusahaan berfokus pada startup deep tech terkait AI, robotic, biotech, dan lainnya.
Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani juga menyampaikan ketertarikannya untuk berinvestasi di startup agritech maupun aquaculture. Salah satu perusahaan rintisan yang menurutnya cukup berhasil yakni eFishery.
Startup tersebut menurutnya memiliki perangkat yang dari sisi kualitas bagus. Ini karena memiliki sensor yang dapat menjaga kualitas air kolam ikan atau udang.
Selain itu, “ada konsistensi dan scalability,” kata dia. Ini karena eFishery masuk juga ke sektor marketplace dan pembiayaan, sehingga mendapatkan banyak margin dan komisi. “Startup agritech perlu menerapkan ekosistem seperti ini. Lalu, kolaborasi dengan banyak stakeholder,” kata dia.
Pada November lalu, Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir juga mengungkapkan dua tren di sektor agritech. Pertama, banyaknya lulusan universitas terbaik di luar negeri yang masuk ke bidang ini. Kedua, adopsi teknologi di sektor perikanan Indonesia mulai masif.
“Suatu hari nanti, Anda akan tahu ikan yang disantap saat makan malam berasal dari nelayan mana. Sejarah kepuasan pelanggan ini bakal menjadi insentif bagi nelayan atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk konsisten menjual produk,” kata Pandu dalam webinar Regional Summit yang diadakan Katadata bertajuk 'Strategi Mempercepat Pemulihan Ekonomi dari Krisis', November lalu (2/11).
AC ventures juga berinvestasi di Aruna, startup perikanan kategori marketplace. Per Agustus lalu, bisnis perusahaan rintisan ini tumbuh 86 kali lipat di tengah pandemi corona.
Direktur Investasi BRI Ventures William Gozali pun menilai bahwa startup di bidang penyediaan bahan pokok berpeluang tumbuh pesat tahun depan. “Ada permasalahan-permasalahan yang belum terjawab (di sektor ini),” kata dia. “Efek pandemi, startup yang mendorong rantai pasok, prospeknya masih sangat bagus.”
Apalagi, pemerintah menganggarkan Rp 99 triliun untuk mendukung ketahanan pangan pada tahun depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dana ini masuk di Kementerian Pertanian, Kementerian Perikanan dan Kelautan, dan instansi lain terkait irigasi.
Selain itu, “pemerintah daerah dalam bentuk pangan," kata Sri Mulyani dalam Webinar Jakarta Food Security Summit atau JFSS-5, November lalu (18/11).
Anggaran besar diberikan karena pandemi yang berkepanjangan dapat menyebabkan krisis pangan, terutama jika terjadi gangguan pada rantai pasokan dan logistik. Kementerian Pertanian pun mencatat bahwa indeks ketahanan pangan nasional sempat turun dari 44,1 menjadi 40,1 pada dua bulan pertama pandemi.
Selain itu, pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi salah satu dari tujuh lapangan usaha yang tumbuh positif pada kuartal III 2020 yakni 2,15% secara tahunan (year on year/yoy). Sektor ini juga berkontribusi 14,68% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Pemerintah menilai, pertanian dan perikanan sebagai salah satu sektor pengungkit utama ekonomi pada kuartal III. Sektor ini juga menjadi satu-satunya yang mengalami kenaikan ekspor 23,8% yoy, menjadi US$ 420 juta.
Badan Pusat Statistik pun mencatat serapan tenaga kerja pertanian paling tinggi per Agustus 2020. Dari 128,45 juta orang penduduk bekerja, 29,76% berada di sektor ini, tumbuh 2,23% secara tahunan. Lebih tinggi dari perdagangan dan industri pengolahan yang proporsinya masing-masing 19,23% dan 13,61%.