AS hingga Eropa Terancam Resesi, Startup IPO dan Merger Justru Naik
Jumlah startup di dunia yang mencatatkan saham perdana alias initial public offering (IPO), merger maupun akuisisi pada semester I naik tipis 2,6% secara tahunan (year on year/yoy), berdasarkan data CB Insights. Ini terjadi di tengah ancaman resesi ekonomi di sejumlah negara dan tingginya inflasi.
IPO, merger, dan akuisisi merupakan bentuk exit strategy. Exit strategy adalah pendekatan yang direncanakan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan/atau meminimalkan kerugian
Startup yang melakukan exit strategy 3.144 pada kuartal I. Sedangkan pada kuartal II ada 2.648. Maka, totalnya 5.792.
Tahun lalu, jumlahnya 2.767 pada kuartal I dan 2.876 di kuartal II. Maka, totalnya 5.643.
Artinya, jumlah startup yang melakukan exit strategy naik 2,6% dibandingkan semester I tahun lalu.
Namun jika dilihat pada kuartal II saja, ada penurunan 16% secara kuartalan (qtoq). Transaksi merger dan akuisisi anjlok 16% menjadi 2.502. “Ini terendah dalam enam kuartal,” demikian dikutip dari laporan CB Insights yang dirilis Selasa (12/7).
Sedangkan jumlah startup yang IPO secara konvensional turun 15%. Volume perusahaan rintisan yang IPO melalui perusahaan akuisisi bertujuan khusus alias SPAC turun 26%.
SPAC disebut perusahaan cek kosong karena tidak memiliki operasi apa pun. Perusahaan jenis ini merupakan sarana investasi yang dibuat khusus untuk mengumpulkan dana para orang kaya.
Startup berbasis di Eropa menyumbang 39% dari semua transaksi exit strategy pada kuartal II. Porsinya melampaui Amerika Serikat (AS) 36%.
Amerika dan Eropa menjadi salah satu negara yang diperkirakan mengalami resesi ekonomi tahun depan. Perusahaan Pialang Global Nomura Holdings memperkirakan ada tujuh negara yang masuk jurang resesi ekonomi pada 2023, yakni:
- Amerika Serikat
- Zona Eropa
- Inggris
- Jepang
- Korea Selatan
- Australia
- Kanada
Dalam catatan penelitian, Nomura menggarisbawahi beberapa negara ekonomi menengah, termasuk Australia, Kanada, dan Korea Selatan, akan menghadapi masalah utang. Mereka berisiko mengalami resesi lebih dalam dari perkiraan, jika kenaikan suku bunga memicu kegagalan di sektor perumahan.
“Namun jika bank sentral tidak memperketat kebijakan moneter untuk menurunkan inflasi sekarang, akan ada rasa sakit bagi perekonomian karena berpindah ke rezim inflasi tinggi dan terjebak di sana," ujar Kepala Riset Pasar Global, Asia ex-Jepang Rob Subbaraman kepada “Street Signs Asia” CNBC, pekan lalu (6/7).