Facebook, YouTube, TikTok Blokir Konten Soal Taliban, Kecuali Twitter

Fahmi Ahmad Burhan
18 Agustus 2021, 09:28
taliban, afghanistan, media sosial, facebook, youtube, tiktok, twitter
ANTARA FOTO/REUTERS/Parwiz/RWA/dj
Aparat keamanan Afghan mengawal militan Taliban, yang mereka tangkap, saat pergelaran kepada media di Jalalabad, Afghanistan, Minggu (14/3/2021).

WhatsApp juga menggunakan perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mengevaluasi informasi grup yang tidak terenkripsi, seperti nama, foto profil, dan deskripsi grup. Apabila ditemukan informasi atas nama Taliban, WhatsApp kemudian mengambil tindakan.

Platform lainnya TikTok, juga mengatakan bahwa mereka telah menetapkan Taliban sebagai organisasi teroris. Kemudian, perusahaan akan terus menghapus konten yang memuji, memuliakan, atau memberikan dukungan kepada Taliban.

Lalu, YouTube mengatakan bahwa mereka menerapkan kebijakan lama untuk Taliban. YouTube tidak mengizinkan akun yang diyakini dioperasikan oleh Taliban di situsnya.

Platform lainnya Twitter mengaku sedang meninjau aturannya untuk Taliban. Perusahaan mengaku akan menindak konten yang mungkin melanggar, khususnya terhadap pemuliaan kekerasan atau manipulasi platform.

Padahal, sebuah laporan menunjukkan bahwa juru bicara Taliban menggunakan Twitter dan mempunyai ratusan ribu pengikut. Kemudian, di akun Twitter-nya itu ia menulis pembaruan status selama pengambilalihan pemerintah Afghanistan oleh Taliban. Namun, Twitter tidak berkomentar terkait hal tersebut.

"Situasi di Afghanistan berkembang pesat. Kami juga menyaksikan orang-orang di negara itu menggunakan Twitter untuk mencari bantuan dan bantuan. Tapi, prioritas utama Twitter adalah menjaga orang tetap aman, dan kami tetap waspada," katanya dikutip Business Insider pada Selasa (17/8).

Diketahui, Taliban menguasai Afghanistan hanya dalam tempo 10 hari sejak penarikan pasukan AS dari negara itu. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani kemudian dilaporkan mengungsi ke Oman. Selain itu, ribuan warga juga mencoba melarikan diri dari Afghanistan.

Profesor komunikasi politik di Universitas Oxford Rasmus Nielsen mengatakan bahwa penting bagi perusahaan media sosial untuk bertindak dalam situasi krisis seperti di Afghanistan. "Setiap kali seseorang dilarang, ada risiko mereka hanya menggunakan platform untuk tujuan yang sah," katanya.

Platform media sosial juga menurutnya mesti bertindak bersama. Sebab, apabila ada ketidaksepakatan antar media sosial, seperti penggunaan istilah ‘terorisme’ maka akan menimbulkan ketidakadilan.

"Banyak pengguna akan mencari jaminan bahwa teknologi apa pun yang digunakan untuk penegakan menjaga privasi mereka," kata Nielsen.

Halaman:
Reporter: Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...