Sudirman Said Nilai Program B20 Tak Mudah Atasi Defisit Neraca Dagang

Image title
19 Desember 2018, 21:38
No image
Sudirman Said

Kebijakan pemerintah mengenai pencampuran minyak sawit sebesar 20% ke Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar atau Program B20 mendapat sorotan dari mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Program itu dinilai bukan senjata ampuh menangani defisit neraca perdagangan.

Menurut Sudirman, untuk mengatasi defisit neraca perdagangan tidak bisa hanya dengan kebijakan B20. “Makanya saya suka ketawa seolah-olah neraca perdagangan bisa dibantu dengan B20. Tidak semudah itu,” ujar dia di Jakarta, Rabu (19/12).

Ada beberapa pertimbangan kenapa defisit neraca perdagangan tidak bisa diselesaikan dengan hanya B20. Ini karena ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM sudah besar.

Untuk mengatasi itu, sebenarnya dengan bisa dengan eksplorasi dan membangun kilang dalam negeri. Hal itu yang belum pernah menjadi fokus pemerintah. “Dua puluh tahun ke belakang mengapa hanya fokus pada ekploitasi? Cadangan tidak pernah nambah, “ujar Sudirman.

Adapun, per November 2018, neraca perdagangan mengalami defisit US$ 2,04 miliar. Ini karena sektor migas dan nonmigas mengalami defisit. Sektor migas defisit US$ 1,4 miliar. Sedangkan, nonmigas defisit US$ 583 juta.

Salah satu tim sukses pasangan Calon Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Sandiaga Uno ini, juga menyoroti mengenai pengembangan energi baru terbarukan. Pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia saat ini mahal, bahkan hanya untuk membangun pembangkit listrik 10 Megawatt (MW).

Menurut Sudirman, saat ini, tren negara di dunia juga mengarah kepada konservasi lingkungan. “Suatu hari yang namanaya dirty energy semakin sempit ruang geraknya. Saya ingin menggaris bawahi hijrah dari energi fosil ke renewable,” ujar dia.

Sudirman yang kini menjadi Ketua Institut Harkat Energi juga menekankan pentingnya investasi di sektor energi. Seluruh pihak seperti eksekutif, parlemen dan pemangku kebijakan lainnya harus membuat iklim investasi yang lebih atraktif dan ramah.

Berdasarkan bahan paparan dari Kementerian ESDM, penurunan investasi terjadi sejak tahun 2014 hingga 2017. Tahun 2014, investasi sektor energi mencapai US$ 33,5 miliar, lalu 2015 hanya US$ 32,3 miliar, setahun berikutnya US$ 29,7 miliar dan tahun 2017 Cuma US$ 27,5 miliar.

Dalam kurun waktu itu penurunan paling konsisten terjadi di sektor minyak dan gas bumi (migas). Tahun 2014, investasinya bisa mencapai US$ 21,7 miliar, tahun 2015 sebesar US$ 17,9 miliar, tahun 2016 sebesar US$ 12,7 miliar dan 2017 mencapai US$ 11 miliar.

(Baca: Jajaki Pengembangan Kilang Ramah Lingkungan, Pertamina Rangkul ENI)

Adapun, hingga kuartal III tahun 2018, realisasi investasi hanya US$ 15,2 miliar. Perinciannya adalah sektor migas US$ 8 miliar, kelistrikan US$ 4,8 miliar, mineral dan batu bara US$ 1,6 miliar; dan energi baru terbarukan US$ 0,8 miliar.

Capaian kuartal III itu masih di bawah target tahun ini. Kementerian ESDM menargetkan investasi sektor energi hingga Desember mencapai US$ 37,2 miliar.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...