Pro-Kontra Masuknya Energi Nuklir dalam RUU Energi Terbarukan

Sorta Tobing
23 September 2020, 19:18
nuklir, pltn, ruu ebt, energi baru terbarukan, pembangkit listrik tenaga nuklir
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama.
Ilustrasi. Masuknya energi nuklir dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (RUU EBT) mengundang perdebatan.

Kepala Perwakilan ThorCon International, Pte Ltd, Bob S Effendi mengatakan perubahan itu berpotensi menghambat keran investasi. Misalnya, pasal 7 ayat 3 menyebutkan pembangunan PLTN hanya dikerjakan oleh badan usaha milik negara atau BUMN khusus. “Hal ini tentu menutup peluang swasta yang akan investasi, seperti Thorcon,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin lalu.

Tak hanya itu, pasal tersebut juga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran dan undang-undang anti monopoli. Bob menilai keputusan itu juga tak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang membuka peluang investasi seluas-luasnya.

Dugaannya, ada yang menyelundupkan pasal tersebut. "Saya pun baru tahu Jumat kemarin karena dalam draf Juni 2020 tidak demikian bunyinya," ujarnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat RUU EBT sebaiknya fokus pada pengembangan energi terbarukan, bukan nuklir. Pasalnya, penggunaan nuklir telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1999 tentang ketenaganukliran. "Jadi, kalau dirasa perlu untuk mengatur PLTN lebih lanjut, revisi saja UU ketenaganukliran," ujarnya.

Indonesia sebenarnya tetap dapat memenuhi kebutuhan energi di masa depan tanpa harus bergantung pada nuklir. Hal ini mengingat teknologi yang digunakan masih berisiko tinggi dan mahal. "Kalau ada yang bilang PLTN itu murah, itu tidak bertanggung jawab," kata Fabby.

Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia atau METI mengusulkan agar UU EBT dinamai UU Energi Terbarukan (ET). Ketua METI Surya Dharma menyarankan semua kata yang mengandung energi baru untuk dihapus. "Selaras dengan tujuannya, UU ET untuk memberikan kepastian regulasi pengembangan dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia," kata dia.

Total produksi PLTN secara global mencapai 2.796 terawatt (triliun watt) per jam pada 2019. Amerika Serikat merupakan negara dengan PLTN terbesar di dunia. Tiongkok menyusul dengan memproduksi listrik bertenaga nuklir sebesar 348,7 triliun watt per jam, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.

Kamar Dagang Indonesia pun berharap dalam penyusunan RUU EBT kali ini, pemerintah dan DPR tetap fokus pada pengembangan energi terbarukan. Nuklir sebaiknya tidak masuk dalam aturan tersebut. "Kami berharap nuklir jadi badan lain dengan high technology," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Terbarukan Halim Kalla

Namun, Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) mempunyai padangan yang berbeda. Ketua Umum MKI Wiluyo Kusdwiharto menilai penamaan UU EBT sudah tepat sehingga energi nuklir masih dapat terwadahi.

Persiapan pembangunan PLTN dapat dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan UU ketenagalistrikan dan peraturan turunannya. "Pelaksanaan penelitian dan pengembangan energi nuklir dan sumber daya nuklir dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan UU ketenaganukliran dan peraturan turunannya," uja Wiluyo.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...