Potensi Besar Institusi Keuangan Masuk Pembiayaan Berkelanjutan

Image title
22 Januari 2021, 17:14
perjanjian paris, emisi karbon, ramah lingkungan, perubahan iklim, energi, keuangan, bisnis hijau, perbankan
123rf.com/warat42
Ilustrasi. Lembaga keuangan mulai bergerak pada proyek pembangunan berkelanjutan.

Untuk negara berkembang seperti Indonesia, pembiayaan berkelanjutan sebenarnya masih belum sesuai. Perekonomian saat ini masih bergantung pada sektor dan industri belum ramah lingkungan "Minimal setelah Indonesia sudah masuk kategori negara dengan pendapatan menengah," katanya.

Pembangkit Tenaga Angin
Ilustrasi proyek energi baru terbarukan, yaitu pembangkit listrik tenaga ain alias PLTB.  (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

BCA Genjot Pembiayaan Berkelanjutan

Tren menyalurkan dana ke investasi berkelanjutan juga terjadi di PT Bank Central Asia Tbk. Hingga kuartal III tahun lalu, pembiayaan pada sektor ini mencapai Rp 114 Triliun atau naik 2,6% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F Haryn mengatakan portofolio pembiayaan kegiatan usaha berkelanjutan ini sekitar 20% dari total pembiayaan BCA. Kredit hijau pada 2019 adalah sebesar Rp 116,3 Triliun dan 2018 sebesar Rp 102,2 Triliun.

Pembiayaan berkelanjutan itu tersalurkan ke energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan sumber daya alam hayati, dan penggunaan lahan berkelanjutan, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Perusahaan juga terus berusaha meningkatkan fungsi intermediary sekalipun di tengah kondisi pandemi Covid-19. Strategi BCA untuk mendukung implementasi sustainable finance adalah mendukung pembiayaan berwawasan ESG. "Prinsipnya berkelanjutan dengan tetap berpegang pada prudent banking principle," ujarnya.

RENCANA PEMBANGUNAN PLTS TERAPUNG DI CIRATA
Ilustrasi proyek energi baru terbarukan, pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS Terapung di Cirata, Jawa Barat.  (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Pandemi Percepat Obligasi Berwawasan Lingkungan

Dalam beberapa tahun terakhir, tren investasi dengan mengedepankan prinsip berkelanjutan memang mulai masif terjadi. Terutama pada negara-negara maju. Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung membuat para pemimpin dunia mulai sadar untuk mengedepankan ekonomi yang berbasis lingkungan.

Survei penerbitan obligasi hijau, sosial, dan keberlanjutan (GSS) yang diterbitkan Climate Bonds Initiative pada 2020, ada 19 kawasan yang menerbitkan surat utang negara (SUN) berwawasan ESG. Obligasi yang diterbitkan mewakili setengah dari total surat utang yang beredar. Nilainya mencapai US$ 45 triliun.

Untuk pemerintah dengan akses ke domestik dan pasar modal internasional, penerbitan obligasi hijau dapat menarik investasi. Dananya untuk pembangunan berkelanjutan serta membantu target nasional pengurangan emisi atau NDC berdasarkan Perjanjian Paris. Beberapa ekonomi utama dunia, termasuk wilayah Eropa bagian utara dan Jerman, telah menyatakan akan fokus pada pengembangan proyek hijau berkelanjutan.

Dari 19 penerbit tersebut, delapan berasal dari pasar negara maju. Rinciannya adalah Prancis, Belgia, Irlandia, Belanda, Hong Kong, Swedia, Jerman dengan penerbitan green bonds, dan Luxemburg dengan penerbitan sustainability bonds

Kemudian, 11 penerbit berasal dari negara berkembang dengan perekonomian rendah menuju ke level menengah. Rinciannya, Polandia, Mesir, Fiji, Nigeria, Indonesia, Lithuania, Seychelles, Chile, dan Hongaria. Semuanya menerbitkan green bonds. Sedangkan Thailand dan Meksiko mengeluarkan sustainability bonds

Dalam survei tersebut ada beberapa faktor yang membuat negara menerbitkan obligasi berwawasan lingkungan. Banyak yang mulai sadar untuk mencapai target NDC, menangani tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG, serta mitigasi perubahan iklim.

Proses penerbitan obligasi GSS pemerintah biasanya melibatkan anggaran dan komitmen untuk melaporkan hasil alokasi dan dampaknya. Audit ini meningkatkan transparansi pemerintah dan memperluas investor. 

Nah, basis investor yang lebih luas memfasilitasi penetapan harga yang lebih ketat. "Sehingga jika ini terus berlanjut, kami mengharapkan pengelolaan utang dalam negeri yang mendorong pemerintah mengidentifikasi saluran pengeluaran GSS yang sesuai," tulis Climate Bonds Initiative Survey.

Dalam menerbitkan obligasi GSS, pemerintah memerlukan waktu yang cukup lama setelah keputusan diambil. Sebanyak 89% dari penerbit menyatakan butuh satu tahun atau kurang untuk menerbitkannya.

Managing Director, ESG Solutions, Global Banking, HSBC Jonathan Drew mengatakan dunia saat ini tengah fokus pada transisi ke ekonomi rendah karbon. Karena itu, penerbitan obligasi ESG sangat penting untuk mendanai investasi hijau.

Penerbitan obligasi hijau, menurut dia, telah menjadi kunci dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan kebutuhan yang mendesak, yaitu mengatasi perubahan iklim. “Kondisi ini dapat menjadi katalisator mendorong perusahaan swasta dan lembaga emiten untuk mengikutinya," kata dia.

CEO Climate Bonds Initiative Sean Kidney mengatakan penerbitan obligasi hijau mengirimkan sinyal kuat kepada publik dan investor. Pemerintah dan regulator berkomitmen melakukan aksi mencegah pemanasan global. Pasar domestik pun akan semakin berkembang. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...