RI Harus Berkaca dari Inggris dan Cina agar Terhindar Krisis Energi
Krisis energi yang saat ini menjerat Inggris dan kawasan Eropa, dan juga Cina membuat negara-negara ini kembali beralih ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan batu bara. Ini membuktikan bahwa penyediaan energi murah dengan pasokan yang terjaga menjadi hal yang paling utama.
Hal tersebut terlihat ketika harga gas bumi melambung tinggi, Inggris dan negara-negara di kawasan Eropa kembali memilih untuk menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Sedangkan krisis listrik di Cina disebabkan berkurangnya pasokan batu bara untuk mengejar target emisi dan iklim.
Padahal belum lama ini, Inggris memutuskan untuk memajukan targetnya mengakhiri penggunaan PLTU batu bara setahun lebih cepat menjadi Oktober 2024. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong negara lain untuk segera menghentikan konsumsi batu bara.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan pada akhirnya krisis energi membuat suatu negara mencari energi yang paling murah dan sesuai dengan kondisi negara tersebut. Sehingga proses transisi ke energi bersih juga perlu ditinjau kembali mengenai keekonomian harga.
"Jika ada energi terbarukan yang lebih murah bisa saja negara dapat beralih menggunakan EBT. Namun jika tidak ada pengganti akan seperti Inggris bahwa Indonesia kemungkinan akan tetap menggunakan batu bara dalam jangka panjang," ujar Komaidi kepada Katadata.co.id, Selasa (28/9).
Apalagi menurut dia porsi listrik RI dari batu bara saat ini sekitar 65%. Sementara jika proyek 35 ribu megawatt (MW) selesai, maka porsi listrik batu bara diproyeksikan lebih dari 70%. Simak databoks berikut:
Sehingga, ketergantungan Indonesia pada batu bara masih akan cukup besar untuk beberapa tahun ke depan. Jika berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional alias RUEN yang ditetapkan pemerintah hingga 2050, konsumsi batu bara secara volume masih sangat besar meskipun porsinya turun.
Menteri Bisnis, Energi, dan Pertumbuhan Bersih Inggris Anne Marie Trevelyan sebelumnya mendesak negara lain untuk segera mengikuti langkah Inggris untuk mengurangi emisi lebih cepat.
"Saya sangat percaya bahwa kami harus memimpin dengan memberi contoh," kata Trevelyan seperti dikutip dari Reuters pada Jumat (2/7). “Perjalanan Inggris menghentikan penggunaan batu bara panjang dan sulit, namun negara-negara lain dapat melakukan hal yang sama.”
Menurut dia upaya untuk menghentikan konsumsi batu bara dalam pembangkitan listrik memang tidak dapat dilakukan dalam semalam. Pasalnya negara tetap harus mengamankan pasokan energi.
“Tapi kami berhasil melakukannya, dan kami telah menunjukkan bahwa hal itu memungkinkan, dan teknologi pertumbuhan bersih telah banyak berkembang dan banyak yang dapat berinvestasi di dalamnya,” ujar Travelyan.
Sementara Presiden Cina Xi Jinping telah berjanji tingkat emisi negaranya akan mencapai titik tertinggi atau puncaknya sebelum 2030. Setelah itu tingkat emisi akan terus diturunkan hingga netralitas karbon dicapai pada 2060.
Namun kebijakan ini telah menjadi salah satu penyebab krisis energi listrik di Cina saat ini lantaran pasokan batu bara untuk pembangkit listrik PLTU berkurang. Akibatnya, saat ini Cina mengalami krisis listrik yang memicu penutupan sektor industri.
Pemasok perusahaan besar seperti Apple dan Tesla terpaksa menutup sementara pabriknya karena kota tempat mereka beroperasi, yakni Shenyang dan Dalian menerapkan penjatahan listrik.
Upaya untuk meningkatkan pasokan batu bara pun terkendala harganya yang kini telah menembus US$ 200 per ton di pasar komoditas Cina, serta negara produsen batu bara, seperti Rusia, Mongolia Dalam, dan Indonesia, tidak bisa segera meningkatkan alokasinya untuk Cina karena beberapa kendala.