• Inggris meningkatkan pemakaian PLTU di tengah tingginya harga bahan bakar gas. 
  • Eropa mulai tinggalkan batu bara, tapi Asia masih belum melakukannya. 
  • Komitmen negara maju sangat dibutuhkan untuk mencapai target pengurangan emisi karbon.

Inggris menyalakanpembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk memenuhi pasokan setrum pada Senin pekan lalu. Kondisi cuaca dan harga bahan bakar yang mahal menjadi pemicunya.

BBC menulis pada Selasa (7/9), regulator yang bertanggung jawab pada pasokan listrik, National Grid ESO, memastikan pembangkit batu bara hanya berkontribusi 3% dari total setrum negara tersebut.

National Grid tetap berkomitmen menghentikan pembangkit listrik batu bara hingga 2024. Tujuannya, untuk mengurangi emisi karbon dioksida alias gas rumah kaca dan mencegah perubahan iklim

"Dalam menyeimbangkan sistem kelistrikan, kami mengambil tindakan dalam urutan ekonomis dan bukan berdasarkan jenis pembangkitan," kata juru bicara National Grid.

The Guardian menyebut, Inggris menghabiskan lebih dari 86 juta pound sterling (sekitar Rp 1,7 triliun) pada minggu lalu untuk menyalakan listriknya. Padahal, Negeri Ratu Elizabeth ini sudah mengurangi pemakaian pembangkit listrik tenaga fosil dan beralih ke energi baru terbarukan (EBT).

PLTU yang tersisa hanya dalam posisi siaga kalau dibutuhkan. Pemakaiannya sekitar 1,6% dari bauran energi nasional pada 2020. Angkanya turun 25% dibandingkan lima tahun sebelumnya. 

Sehari setelah menyalakan PLTU, kontribusi pasokan energi batu bara mencapai 2,2% dari pasokan listrik nasional. Pembangkit listrik tenaga angin (PLTB) yang kini menjadi pemasok setrum utama tidak bisa beroperasi maksimal karena kondisi cuaca yang kurang angin.

Lalu, pembangkit listrik berbahan bakar gas, yang emisinya lebih rendah dibandingkan batu bara, tidak dapat menjadi opsi. Pasalnya, harga gas sedang tinggi di pasar komoditas. 

Harga gas di Benua Biru melonjak karena ketatnya pasokan jelang musim dingin. Dampaknya pemakaian PLTU pun naik. Reuters menyebut, beberapa industri bahkan mempertimbangkan penutupan pabrik sementara karena sulitnya mendapatkan listrik. 

Untuk harga gas pengiriman Januari 2020 telah mencetak rekor 66 euro per megawatt (MW) jam, naik dari 16 euro pada tahun lalu. Angka ini telah melonjak sejak awal April ketika stok gas turun di bawah rata-rata lima tahun. 

Sejak saat itu, Eropa terus berjuang mengimpor gas untuk mengurangi defisit. Fasilitas penyimpanan pun menjadi lambat terisi.

Kembali ke Inggris, pemakaian batu bara pada September ini memunculkan dua masalah. Pertama, seberapa besar komitmen pemerintah dalam mengurangi bahan bakar fosil. Kedua, bagaimana nasib keamanan pasokan energi negara itu.  

PLTU Suralaya
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. (Arief Kamaludin|KATADATA)

Transisi Energi Eropa vs Asia

Pemanfaatan pembangkit energi terbarukan bukan barang baru di Eropa. Situs numerical.co.in mencatat terdapat 12 negara di benua ini yang tidak menggunakan energi pembangkit listrik dari batu bara per Agustus 2021. 

Ke-12 negara itu adalah meliputi Austria, Swedia, Albania, Belgia, Cyprus, Estonia, Islandia, Latvia, Lithuania, Malta, Luxembourg, dan Swiss. Belgia merupakan negara pertama yang berinisiatif melakukan transisi tersebut. 

Pada 2019, Uni Eropa bahkan merancang gagasan perekonomian berkelanjutan dan netral karbon bernama EU Green Deal. Sebanyak 1 triliun euro digelontorkan untuk mendanai program ini. 

Bagian dari aksi utama EU Green Deal adalah mengutamakan pemakaian energi bersih. Dengan begitu, kawasan tersebut dapat bersih dari emisi karbon pada 2050. 

Mengutip dari Climate Action Network Europe (CAN Europe), industri batu bara di Belgia sudah mulai dikurangi. Penutupan PLTU mulai terjadi sejak dekade 1990an.

Pada 2016, negara tersebut menutup pembangkit listrik tenaga batu baranya yang terakhir, bernama Langerlo. Belgia bahkan menjual bangunan pembangkit listrik tersebut pada perusahaan energi hijau, German Pellets. 

Sedangkan di Inggris, pembangkit listrik milik negara Drax menghentikan penghasilan energi listrik batu bara secara komersial pada Maret yang lalu. 

Kondisi itu menyisakan tiga pembangkit listrik di Inggris yang menggunakan tenaga batu bara dalam operasinya. Dari pernyataan resmi di gov.uk, pemerintah setempat menetapkan target berhenti sepenuhnya menggunakan batu bara untuk sumber energi listrik hingga Oktober 2024. 

Mengutip bbc.co.uk, untuk produksi baja Inggris masih di luar dari kebijakan bebas batu bara di 2024. Artinya, penggunaan batu bara dalam industri di luar penghasilan energi listrik masih akan dilakukan di 2024. Negara ini memiliki target pengurangan emisi karbon hingga 78% di 2035.

Berdasarkan data Climate Watch, energi merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca. Sektor tersebut mampu menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi pada 2017.

Besarnya kontribusi sektor energi terhadap emisi gas rumah kaca terjadi di banyak negara. Di Uni Eropa misalnya, emisi gas rumah kaca dari sektor energi disokong kegiatan industri, rumah tangga, dan transportasi.

Sedangkan Asia justru mengalami peningkatan dalam penggunaan energi hasil batu bara. Bulan Juli 2021, mengutip The Guardian, Indonesia termasuk dalam lima negara Asia yang berinvestasi dalam 80% proyek baru PLTU global. 

Negara lainnya meliputi India, Cina, Jepang, dan Vietnam. Investasi tersebut melibatkan lebih dari 600 unit PLTU baru.

PLTU
Ilustrasi PLTU. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Energi Fosil Masih Dibutuhkan?

Indonesia sudah memiliki target bebas emisi karbon pada 2060. Patokan ini terlambat selisih 10 tahun dengan ketentuan Perjanjian Paris 2015. 

Pemerintah menargetkan pada 2030 pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut, transisi energi seharusnya tidak hanya mengubah sumber tapi juga sistemnya. Termasuk di dalamnya, penggantian pembangkit dan penambahan infrastruktur.

Indonesia baru memasang 10.491 gigawatt kapasitas energi terbarukan pada Desember 2020. Angka ini hanya naik 188 megawatt dari tahun sebelumnya. 

Laporan IESR yang berjudul Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: A Pathway to Zero Emissions by 2050 menunjukkan, antara 2005 dan 2019, negara ini telah menambah 25 gigawatt PLTU. Peningkatannya mencapai 260% dalam 14 tahun.

Belum lagi rencana pemerintah untuk terus menambah kapasitas PLTU batubara. Targetnya adalah 57 gigawatt pada 2028.

Produksi batubara Indonesia pun cenderung naik. Pada 2020, totalnya mencapai 550 juta ton. Sebanyak 72% untuk pasar ekspor, seperti Cina dan India.

Kebijakan penggunaan energi terbarukan masih menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.

Kedua aturan itu, menurut Fabby, belum dapat mengakomodasi transisi energi. Pasalnya, pemerintah pun masih menggodok rancangan undang-undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan (EBT).

Sebagian besar negara yang tergabung dalam G20, termasuk Indonesia, telah sepakat untuk meningkatkan penggunaan energi terbaukan. Paling tidak pemakaiannya sekitar 20% sampai 40% dari kebutuhan.

Kesadaran ini pun juga sudah tercantum dalam ratifikasi Perjanjian Paris. Perjanjian ini merupakan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCC) yang mengawal reduksi emisi karbon mulai berlaku pada 2020.

Beberapa negara saat ini mencoba melepaskan diri dari energi fosil. Italia akan lepas dari batu bara pada 2025 dan Denmark pada 2028. Lalu, 80% pembangkit listrik di Amerika Serikat akan memakai energi terbarukan pada 2030 dan 100% pada 2035. 

Komitmen tersebut memerlukan jalan panjang bahkan untuk negara maju sekalipun. “Beberapa negara maju telah menetapkan untuk phase out PLTU antara 2022 sampai 2030,” kata Fabby. 

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan energi terbarukan, seperti matahari dan angin, sifatnya masih bersifat intermitent. Artinya, sumber energinya tidak tersedia terus-menerus. 

Kehadiran energi fosil, seperti dari batu dan gas, masih dibutuhkan. “Negara Eropa mengarah ke transisi tapi mereka juga masih membutuhkan batu bara karena lebih murah,” ujarnya.  

Pada pertemuan Konferensi Perubahan Iklim PBB, Conference of Parties 26 (COP26), pada November nanti akan menjadi momen penting. Banyak pihak meragukan keberhasilannya apabila negara miskin dan berkembang tidak mendapat pendanaan dan bantuan dari negara kaya untuk melawan perubahan iklim.

Mamit mengatakan, sebenarnya negara maju sudah memberikan komitmen pendanaan tersebut. Angkanya sekitar US$ 100 miliar. “Tetapi realisasinya sejauh ini baru sepertiga bantuan diberikan,” ucapnya.

Penelitian yang dikeluarkan lembaga think-tank independen berbasis di Inggris, ODI, menemukan hanya German, Norwegia dan Swedia yang telah membayarkan seluruh bagian mereka. Sedangkan Australia, Kanada, Selandia Baru, Portugis dan AS baru membayar 20% dari komitmennya.

Kemampuan negara maju untuk memenuhi komitmen pendanaan iklim sangat penting untuk keberhasilan KTT COP26. Komitmen ini, Mamit mengatakan, dibutuhkan untuk membangun koalisi antar-negara sehingga target pengurangan emisi karbon dapat tercapai. 

Penyumbang bahan: Amartya Kejora dan Dhia AL Fajr (magang)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami