Marak Bencana Akibat Perubahan Iklim, Ini Kebijakan Hijau Negara ASEAN

Image title
5 Mei 2021, 12:08
perubahan iklim, asean, bencana alam, kebijakan hijau
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.

Sektor bisnis juga mulai menunjukkan lebih banyak komitmennya terhadap pembangunan berkelanjutan, dengan perusahaan seperti Temasek tahun lalu yang mencapai netralitas karbon di kantor pusatnya.

Menteri Senior Negara untuk Keberlanjutan dan Lingkungan Amy Khor mengatakan dana investasi negara sekarang mengejar rencana untuk mencapai portofolio karbon nol bersih pada tahun 2050. Menurut dia, bagaimanapun, bahwa aksi iklim harus merupakan upaya seluruh bangsa yang melibatkan semua pihak.

"Kami ingin memicu gerakan nasional untuk membuat Singapura lebih hijau, mendorong inovasi hijau dan inisiatif dasar, dan mendorong semua individu untuk merangkul gaya hidup yang lebih berkelanjutan," ujarnya.

Sementara, Malaysia berfokus pada pembangunan rendah karbon sebagaimana tercantum dalam Rencana Induk Teknologi Hijau 2030. Sedangkan Brunei juga telah meluncurkan Kebijakan Perubahan Iklim Nasionalnya.

Di tingkat kawasan, ASEAN telah memperkuat kerja sama antar negara anggota dan dengan mitra seperti Uni Eropa (UE), mengingat peluang dan tantangan dapat memiliki efek pengganda di setiap negara dan kawasan.

Untuk mendukung negara-negara ASEAN dalam mengurangi pembalakan liar, UE pada Oktober lalu mengumumkan program tata kelola hutan tiga tahun senilai 5 juta euro yang sejalan dengan Kesepakatan Hijau Eropa.

Program tersebut bertujuan memperkuat pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan legal, meningkatkan tata kelola dan mempromosikan perdagangan kayu yang diproduksi secara legal.

"Ekspor kayu legal meningkatkan perdagangan yang adil, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan perlindungan keanekaragaman hayati yang bermanfaat bagi semua orang di Asia Tenggara," kata Igor Driesmans, duta besar UE untuk ASEAN.

Sekitar 15% dari hutan tropis dunia ada di Asia Tenggara, tetapi luasnya terus menyusut dengan cepat karena pembukaan hutan dan konversi lahan yang dipicu oleh urbanisasi yang cepat. Indonesia dan Malaysia juga dua produsen minyak sawit terbesar dunia.

Menurut analisis Dr Gregory Asner dari Departemen Ekologi Global Carnegie Institution, Washington, AS, deforestasi menyumbang 20% emisi gas rumah kaca di dunia.

Menyadari ancaman nyata dari perubahan iklim, Asian Development Bank (ADB) baru-baru ini memberikan bantuan senilai US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,3 triliun dari Green Climate Fund (GCF) untuk disalurkan melalui program ASEAN Catalytic Green Finance Facility (ACGF). Dana ini untuk mengejar pemulihan ekonomi berkelanjutan.

Kamboja, Indonesia, Laos dan Filipina akan menjadi prioritas pendanaan GCF untuk proyek investasinya. "Program ACGF dirancang untuk memulai siklus investasi rendah emisi selama beberapa tahun pertama pemulihan Covid-19," kata wakil presiden ADB Ahmed M. Saeed.

Menurutnya program ini akan membantu negara-negara Asia Tenggara merancang paket dan proyek stimulus hijau yang akan menciptakan lapangan kerja ramah iklim. Kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membantu dalam mencapai Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...