ESDM: Implementasi Pasar Karbon RI Terganjal Ekonomi yang Belum Stabil
Kementerian ESDM menyebut pasar karbon belum bisa dilaksanakan di Indonesia karena kondisi perekonomian yang belum stabil usai meredanya Pandemi Covid-19.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengatakan penerapan pasar karbon di Indonesia masih terkendala kondisi keuangan negara yang belum sanggup menunjang implementasi nilai ekonomi karbon atau perdagangan karbon di dalam negeri.
Dalam masa percobaan dan sosialisasi, pelaksanaan pajak karbon akan diterapkan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang sebagian besar dimiliki oleh PT PLN.
"Hanya saja dari sisi kekuatan APBN, karena PLN adalah semuanya di arahkan ke APBN. Maka ini juga perlu dihitung-hitung termasuk nanti harga karbon dan seterusnya," kata Ridha saat menjadi pembicara dalam Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022 pada Senin (10/10).
Pemerintah menawarkan dua skema dalam implementasi pajak karbon, yakni perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax).
Skema cap and trade, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap atau batas yang ditentukan diwajibkan membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari entitas lain yang emisinya di bawah batas. Opsi lainnya, bisa juga dengan membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).
Sedangkan skema cap and tax berlaku bagi para entitas atau perusahaan yang tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan. Sisa emisi yang melebihi batas tadi akan dikenakan pajak karbon.
Adapun penerapan perdagangan karbon di PLTU batu bara akan skema cap and tax dengan tarif Rp 30 per kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. Simak potensi pasar ekonomi karbon RI pada databoks berikut:
Meski dirasa belum sanggup melaksanakan kebijakan perdagangan karbon, pemerintah sudah menyiapkan regulasi atau payung hukum untuk pelaksanaan pasar karbon. "Perdagangan karbon ini bisa segera diimplementasikan, karena secara regulasi semuanya sudah siap," ujar Ridha.
Ridha menyebut, pelaksanaan pasar karbon di dalam negeri harus segera dilaksanakan mengingat momentum harga energi fosil yang terus meningkat. Sumber energi listrik dari energi terbarukan dinilai bisa mengejar keekonomian harga energi yang dihasilkan dari batu bara, minyak, dan gas bumi.
"Sekarang harga fosil lagi tinggi, ini kesempatan, momentum baik untuk menggenjot penggunaan dan pemanfaatan sumber energi terbarukan, terlebih konsumen sekarang lebih banyak menuntut energi bersih yang lebih berkelanjutan," tutur Ridha.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyebut pelaksanaan pajak karbon tak berdampak signifikan pada upaya menghasilkan pendapatan negara karena adanya biaya administrasi yang harus dikeluarkan saat kebijakan ini dirilis.
"Pembentukan pajak karbon ini sebetulnya dari sisi revenue tidak terlalu besar. Kalau kita mengeluarkan jenis pajak baru, itu ada biaya administrasinya. Jadi sebenarnya hampir equal atau setara antara biaya administrasi dan penerimaan dari pajak karbonnya," kata Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin, Rabu (14/8).
Kementerian Keuangan memperkirakan penerapan pajak karbon 2023 berpotensi menambah penerimaan negara senilai Rp 194 miliar. Dampaknya terhadap inflasi bahkan diperkirakan tidak ada.
Pemerintah semula berencana mengimplementasikan pajak karbon pada 1 April 2022, kemudian ditunda tiga bulan menjadi awal Juli. Rencana itu kembali ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Namun, pemerintah sebelumnya memastikan kebijakan baru ini tetap akan berjalan tahun ini.
Kementerian Keuangan dalam beberapa kesempatan berulang kali mengatakan penerapan jenis pajak baru ini mempertimbangkan kondisi perekonomian. Hal ini kembali disinggung Masyita. Ia menyebut pengenaan segala jenis pajak baru perlu mempertimbangkan pemulihan ekonomi.
"Ini agar tidak jadi beban tambahan karena ekonomi kita mulai naik jadi kita menjaga supaya momentum itu tetap bisa dilakukan," kata Masyita.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyinggung soal jadwal penerbitan pajak karbon. Rencana implementasinya, kata dia, perlu dikalibrasi lagi mengingat pemulihan ekonomi saat ini masih rapuh, bukan hanya imbas pandemi tapi juga risiko krisis pangan dan energi.