Mengenal Istilah Quiet Quitting, Pengertian, dan Penyebabnya

Annisa Fianni Sisma
19 Oktober 2022, 23:30
quiet quitting
Freepik
Ilustrasi, stress.

Suasana yang terlalu kompetitif juga dapat menciptakan kondisi ini. Karyawan mungkin merasa perlu melakukan pekerjaan ekstra, untuk bersaing dengan rekan kerja, atau untuk membuktikan diri.

Dalam banyak kasus, percakapan tentang beban kerja bersifat satu arah, dengan pemberi kerja mendikte ekspektasi tanpa ada ruang bagi karyawan untuk menyuarakan keprihatinan atau menegosiasikan batasan.

2. Kompensasi yang Buruk

Salah satu argumen quiet quitting adalah "hanya melakukan pekerjaan di mana Anda dibayar". Banyak pekerja yang melakukan quiet quitting, merasa bahwa mereka melakukan terlalu banyak pekerjaan dengan bayaran yang terlalu kecil.

Akar masalah yang sebenarnya adalah, karyawan merasa tidak merasa dihargai terhadap pekerjaan yang dilakukan. Akibatnya, karyawan mengurangi kinerjanya di kantor atau tempat kerja.

Selain uang, masalahnya lainnya adalah rasa hormat. Ketika tidak diberikan penghargaan karena bekerja ekstra, karyawan merasa atasan tidak menghargai pengorbanan dan usaha yang sudah dilakukan. Akibatnya, karyawan merasa dimanfaatkan.

Perlu dicatat, kompensasi ini bisa lebih dari gaji. Di luar kenaikan gaji langsung, pemberi kerja mungkin menawarkan jaminan promosi dengan batas waktu yang jelas untuk kenaikan kompensasi. Atasan juga dapat memberikan tunjangan dan fasilitas, seperti hari libur ekstra, makanan gratis, dan otonomi untuk memilih proyek.

3. Batas-batas yang Kabur

Quiet quitting terkadang merupakan reaksi terhadap keseimbangan kehidupan kerja yang buruk, dan pengabaian terhadap batasan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ini lah yang disebut "batas-batas yang kabur", karena seseorang seringkali masih diributkan dengan urusan pekerjaan, meski sudah berada di luar jam kerja atau bahkan saat libur.

Hal ini terkadang muncul kala rekan kerja atau atasan terus-menerus menelepon atau mengirim e-mail setelah jam kerja, dan mengharapkan karyawan untuk menjawab. Mungkin juga terjadi ketika urusan pekerjaan mengganggu liburan, atau manajer menolak permintaan untuk cuti.

Kondisi batas-batas yang kabur ini pun tidak terjadi karena keadaan darurat kerja yang sesekali. Melainkan, berulang kali terjadi.

Karyawan yang merasa bahwa perusahaan tidak menghormati waktu pribadi, akan menggunakan cara ekstrem dan menegakkan batasan tersebut secara mutlak, salah satunya melakukan quiet quitting.

4. Kurangnya Dukungan

Karyawan sering kali mampu dan mau menanggung kondisi kerja yang sulit, ketika mereka tahu atasan ada di pihak mereka. Atasan yang peduli dan perhatian dapat membantu menjaga karyawan tetap termotivasi.

Namun, seorang karyawan bisa mengerem kinerja dan mengambil sikap quiet quitting, ketika mereka merasa atasan tidak memikirkan kepentingan terbaik, atau tidak dapat mengadvokasi mereka.

Atasan ini belum tentu atasan yang buruk, tetapi mungkin tidak sadar, kewalahan, atau tidak efektif dalam meringankan beban karyawan. Dalam banyak kasus, karyawan mengungkapkan keprihatinan mereka dan meminta bantuan. Tetapi, para pemimpin bertindak terlalu lambat atau tidak pernah mengambil tindakan.

Seringkali, alih-alih berempati atau menawarkan solusi, atasan bisa mendorong pekerja untuk bekerja keras. Karyawan akhirnya mengambil tindakan sendiri, dan menarik diri ketika manajer mereka tidak mendukung.

5. Harapan yang Tidak Jelas

Quiet quitting juga dapat timbul, apabila karyawan merasa atasan memiliki harapan yang tidak realistis, dan menuntut hal yang tidak masuk akal.

Sederhananya, orang yang melakukan quiet quitting, merasa perusahaan meminta terlalu banyak di luar deskripsi pekerjaan tanpa melakukan diskusi sebelumnya.

Karyawan tersebut akhirnya bekerja pada posisi yang sama sekali berbeda dari apa yang mereka terima dan harapkan, atau mengambil peran ganda. Atau bisa jadi melakukan pekerjaan di dua atau tiga posisi berbeda. Mungkin juga karena tujuan dan metrik yang ditetapkan berubah terus-menerus atau tidak jelas sama sekali.

Karyawan mungkin percaya bahwa mereka melakukannya dengan baik dan melampauinya, tetapi atasan terus meminta lebih banyak atau tidak memberikan umpan balik tentang kinerja yang baik tersebut.

Dalam beberapa kasus, quiet quitting juga timbul karena karyawan salah memahami harapan manajer, dan manajer gagal memperbaiki kesalahpahaman ini.

6. Komunikasi yang Buruk

Terkadang, quiet quitting terjadi karena seorang karyawan tidak tahu bagaimana mengungkapkan masalah mereka, atau takut untuk mengungkapkannya.

Karyawan mungkin menganggap atasan mengabaikan kekhawatiran mereka, tidak menjelaskan masalah ini secara memadai atau salah berasumsi bahwa pimpinan sudah mengetahuinya.

Mungkin karyawan tersebut takut akan konflik, dan tidak pernah mengangkat masalah, kemudian diam-diam menarik diri alih-alih memberanikan diri untuk mengungkapkan masalah.

Halaman:
Editor: Agung
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...